Berharap

Pagi itu, dunia belum sepenuhnya bangun. Ayam pun enggan berkokok, seolah memberi ruang bagi embun terakhir hujan semalam untuk menetes pelan di ujung dedaunan. Tak ada suara memecah sunyi, hanya desau langkah yang beradu pelan dengan waktu di atas lantai rumah yang belum sempat disentuh dinginnya keramik. Malam telah pergi terlalu cepat, tak cukup bagi tubuh renta untuk mereguk utuh istirahat di atas ranjang tua—ranjang yang diam-diam menjadi saksi perjalanan panjang seorang pengembara: pencari sesuap harapan. Ia Bapak Fidelis. Penduduk sekitar memanggilnya Om Fidel. Ia dikenal seorang yang penuh perjuangan dan pekerja keras , walau usia sudah semakin menua. Hari itu tak jauh berbeda. Seperti biasa, sebelum jarum jam menyentuh angka tujuh, Fidelis sudah harus tiba di toko Aci Maya. Tak ada ruang untuk alasan. Tak ada waktu untuk terlambat. Perintah Aci Maya jelas dan lugas; "Selesaikan semuanya sebelum tengah hari. Lalu antarkan barang-barang ke Pa Dorus bersama...