Gang Dolorosa

Terik panas bumi menghanguskan segala perjuangan batin. Dalam deru kaki kuda yang mengoncang kota tua yang tak terawat, terdengar desas-desus masa lalu yang merobek keheningan. Sepatu para hansip dari desa melangkah cepat menembus jalan berdebu, meninggalkan jejak yang hanya berupa debu yang mengusik, seakan tak bersalah. Waktu terus melangkah, jejaknya hampir tenggelam menuju peraduan senja, seiring pemuda dari desa itu digiring menuju kota yang katanya sumber keadilan. Benarkah demikian?

Di sudut sana, di gang Dolorosa, seorang ibu berpakaian lusuh menatap dunia yang penuh hiruk-pikuk, seolah tak terkendali. Suara masa kini semakin bergema, menjalar hingga pelosok negeri, tetapi ia hanya bisa terdiam, tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Di sampingnya, seorang gadis muda, yang memesona mata, namun seketika hilang dari pandangan, terhapus oleh debu tangisan batin. Mereka terus berjalan meski lambat, menapaki jejak-jejak yang hampir terlupakan.

Detak waktu terasa mencekam. Suasana semakin terik, sesak, gerah. Di seberang sana, suara massa menilai pemuda itu sebagai penjahat, perusak adat. Sementara di sudut lainnya, sekelompok suara minoritas berusaha membela, namun siapa yang mendengarnya? Suara mereka tenggelam oleh teriakan mayoritas, dibungkam oleh kekuasaan yang berbicara dusta. Para bapak berdasi, dengan langkah penuh kuasa, berkomplot untuk menutupi realitas. Pemuda itu menjadi kambing hitam, tergilas di bawah beban tuduhan yang tak berdasar. Saksi datang silih berganti, namun kebenaran tak kunjung muncul.

Perempuan itu hendak bersuara, namun suaranya tak lebih dari bisu. Ia seorang perempuan, dengan pakaian lusuh, tak punya kapasitas untuk bersaksi. Apalah daya, selain air mata penyesalan yang mengalir di pipinya, menggambarkan betapa besar ketidakadilan yang ia rasakan. Kini, ia hanya bersama putra tunggalnya, berjalan di gang Dolorosa yang semakin penuh dengan airmata kepedihan. Tidak ada kedamaian, tak ada keadilan, tak ada kebenaran. Yang ada hanya hempasan cambuk yang sesekali mendarat di tubuh pemuda itu.

Kejadian dua ribu tahun lalu itu terus bergema hingga kini. Perempuan tak pernah diukur suaranya, tak pernah dihargai dalam pergulatan kuasa yang menindas. Namun suara perempuan yang berpakaian lusuh itu, tak pernah padam. Kini, ia berbicara melalui para ibu yang berjuang menolak geothermal, meski sering dihempas dan dibungkam dalam kata. Namun suara mereka terus menggema, demi anak-anak dan tanah yang mereka cintai. Dimanakah keadilan yang sejati?

Semoga mereka yang berdasi mendengar, memahami, bahwa kuasa tak seharusnya diotak-atik untuk kepentingan pribadi. Semoga kebijakan yang diambil jatuh pada tempat yang tepat, sebelum air mata para ibu berubah menjadi amarah yang tak terbendung. Pemuda itu telah dijatuhi hukuman tanpa dosa, semoga mereka yang berkuasa berhenti sejenak, menimbang kebijakan dengan bijak. Jangan biarkan luka para ibu terus menganga, biarkan mereka sembuh sebelum duka itu menjadi luka yang terus bernanah. Jangan biarkan mereka terus terluka, hingga akhirnya tak ada lagi yang dapat mengobati.

Keberanian perempuan untuk berbicara melawan ketidakadilan harus terus hidup. Jangan biarkan dunia mengabaikan suara mereka yang selama ini terabaikan. Mereka berjuang bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk masa depan anak-anak mereka, untuk tanah mereka yang tercinta. Keadilan harus dimulai dari mendengarkan mereka, yang tak pernah berhenti merasakan pilu yang terpendam. Saat ini mereka telah terluka, jangan biarkan luka itu terus bernanah hingga akhirnya mereka terus terluka dan tak dapat terobati.

 

darvis­_tarung

Kupang, 5 April 2025

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa