Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

 

“Anda diutus ke luar negeri tahun ini. Anda siap?" Tanya Suster Kepala dengan suara lembut, namun tegas. Mata kami bertemu, seakan mencari makna di balik kata-kata itu.

Demi ketaatanku kepada Tuhan dan kepada pimpinan, dengan sangat cepat aku menjawab, "Ya, Suster. Saya siap." Kata-kata itu keluar begitu saja, seperti hembusan angin yang tak perlu dipertanyakan arahnya. Aku tidak memikirkan kemana aku akan pergi, dengan siapa, atau untuk apa. Yang ada hanya satu: aku adalah seorang misionaris yang siap menjalani perutusan-Nya, tanpa bertanya.

Malam itu, gerimis turun dengan lembut, membunyikan atap rumah genteng yang sudah tua. Aku duduk sendirian di sudut kamar, menatap bayang-bayang yang menari di dinding. Di luar, dunia terasa begitu jauh, seakan waktu berhenti berjalan. Pikiranku mulai mengembara. Ke mana aku akan diutus? Apa yang menantiku di negeri yang tak kukenal? Ya, luar negeri... pasti menyenangkan, pikirku. Namun, saat itu juga, ada rasa yang mengusik, sebuah perasaan yang datang tanpa diundang.

Malam semakin larut, dan dalam keheningan, aku mulai merasakan kedamaian yang aneh. Mungkin ini kebahagiaan yang akan datang bersama perutusan itu. Aku tersenyum dalam hati, membayangkan perjalanan yang akan kulalui.

"Suster, nanti urus semua dokumen yang diperlukan untuk keberangkatanmu," kata Suster Kepala dengan tegas. "Suster harus secepatnya ke sana, karena mereka yang di sana sangat mengharapkan kehadiranmu."

Aku mengangguk, seakan tahu bahwa tak ada waktu untuk berlama-lama. Aku bergegas menyelesaikan semua yang perlu diurus, mempersiapkan diri untuk berangkat ke negeri beruang merah, negeri yang baru kutahu namanya dari sepenggal kisah yang diceritakan oleh Suster Kepala.

Perjalanan itu jauh, penuh liku-liku, dan kadang, hati terasa berat. Awalnya aku bahagia, merasakan kehangatan dalam setiap langkahku. Namun, dalam perjalanan panjang itu, aku mulai bertanya-tanya. Kenapa Tuhan mengirimku ke sini? Aku merasa asing. Seperti orang yang berjalan di tanah yang tak kukenal. Aku tak tahu apa yang mereka katakan, dan mereka juga tak mengerti bahasa yang kuucapkan. Aku seperti hantu yang melayang tanpa suara, tanpa makna.

Aku terus berjalan, merasakan derap langkah yang semakin jauh dari tanah kelahiranku. Jam tangan di tanganku menjadi satu-satunya penanda waktu. Seperti kapal yang mengarungi laut, aku berlayar tanpa tahu apa yang menantiku di ujung sana.

Di sebuah pintu, aku bertemu dengan seorang penjaga yang lebih muda dariku. Wajahnya tampak curiga, seakan menilai aku sebagai sosok yang membahayakan. Sungguh, dalam momen itu, aku merasa seperti orang asing yang terbuang. Tidak ada satu pun yang mengerti diriku, dan aku pun terjebak dalam kebisuan. Bahasa tubuh, bahasa diam, menjadi satu-satunya cara kami saling berkomunikasi. Tak ada kata yang mampu menghubungkan hati kami, hanya doa yang terucap dalam batin.

Akhirnya, setelah perjalanan panjang dan penuh tanda tanya, aku tiba juga di tempat yang menantiku. Sebuah rumah yang sederhana, namun penuh harapan. Di sinilah aku akan menjalani hari-hari yang penuh dengan kebingungan, kesendirian, dan keheningan.

Dan kini, Desember tiba. Natal pertama ku di tempat ini. Tidak ada musik meriah, tidak ada lagu-lagu rohani yang biasa terdengar di kampungku. Hanya ada kicauan burung gereja yang hampir punah oleh salju yang turun. Keadaan ini jauh berbeda dengan apa yang aku bayangkan. Tidak ada riuhnya persiapan natal seperti di rumah, hanya keheningan yang mendalam.

Natal kali ini terasa begitu sunyi. Namun, di tengah sunyi itu, aku merasakan sesuatu yang lebih besar. Ada rasa kedekatan dengan Tuhan yang begitu kuat, meskipun aku hanya bisa berbicara dalam bahasa doa dan batin. Aku merasa, meskipun jauh dari tanah kelahiran, Tuhan tetap hadir dalam setiap langkahku.

Dan meski Natal kali ini berbeda, aku menyadari bahwa perjalanan ini adalah bagian dari panggilan-Nya. Di negeri beruang merah ini, aku belajar banyak. Tentang kesendirian, tentang doa yang lebih kuat dari kata-kata, dan tentang makna sejati dari pelayanan. Inilah jalan yang Tuhan pilihkan untukku. Sebuah perjalanan yang penuh arti, meskipun terkadang terasa sangat asing.

Aku tersenyum dalam hening, menghadap langit yang perlahan berubah kelabu. Pada akhirnya, aku tahu bahwa perjalanan ini adalah milikku. Sebuah perjalanan yang akan terus hidup dalam doa dan harapan, dan dalam setiap Natal yang akan datang, aku akan mengenang kebahagiaan yang tersembunyi dalam kesendirian.

Ini sebuah jejak langkah dari seorang gadis yang diutus. Tentang rasa kini dan di sini menikmati setiap jejak langkah perutusan. Inilah kisah dari seorang peziarah harapan yang terus bergulat dengan waktu dan keadaan. Nama gadis itu adalah Raynildis.

 

 

Kupang, 5 Januari 2024

darvis_tarung

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lorong San Juan

Oa