Lorong San Juan
Senja baru baru saja pamit. Lampion yang mulai bercahaya menjemput malam mulai menerangi sudut-sudut gelap Lorong San Juan. Tak ada suara pesta yang biasa terdengar di lorong ini, hanya ratap mengenang kepergian dia dan mereka. Di dua November ini, tiada lagi cerita, hanya air mata yang tertinggal; mereka pernah ada di sini, namun kini melayang entah ke mana, tak pasti kapan kita kan bertemu lagi.
Waktu berlalu, namun kenangan tak pernah pudar. Dalam bayang rindu dan tanya yang menghantui, aku duduk di bawah kaki salib, menatap wajah yang ikhlas, menebus setiap jiwa yang rindu akan pulang. Di bangku paling belakang, aku melantunkan lagu pembuka, bersuara bersama jiwa-jiwa yang masih menggema, seolah menanti untuk kembali, seperti mereka yang kini kami ratapi.
Akan tiba waktunya bagi ku untuk kembali? Tuhan aku belum siap. Setiap nama yang dibacakan oleh Bapa pastor, mengingatkan aku akan suatu saat nanti namaku dibacakan juga. Suara Bapa pastor mengalun lembut, meski kadang terkesan monoton, namun aku tahu, nama-nama itu penting; mereka pun butuh diingat, untuk kembali ke pangkuan Sang Pencipta.
Aku mengikuti setiap bagian perayaan di dua november ini. Tak ada yang tak terlewatkan setiap bagiannya. Disini aku bersua dengan jiwanya yang pernah muncul dalam keheningan hidupku waktu itu. Lama aku menikmati nyanyian kaum berjubah itu, serasa para malaikat bersorak memuji keagungan Sang Pencipta. Aku dan rasaku, sungguh ada di Firdaus bahagia ini namunnya nyatanya di Yerusalem tempat jiwa-jiwa menyanyi kidung duka.
***
Kini, bukan lagi senja yang berkisah namun lampu biara yang bersaksi tentang kegelapan malam. Sekian jam aku ada di sini, hampir tak ingin pulang. Aku dan rasa menyatu dengan hening disini. Ahhhhh……aku tak harus berlama-lama disini. Aku harus kembali. Keputusanku belum bulat untuk pulang. Aku menyandarkan diriku pada pohon cemara di dekat lampu taman yang lembut menyinari.
“Sekarang, Tuhan, perkenankanlah hambaMU berpulang dalam damai sejahtera, menurut sabdaMu. Sebab aku telah melihat keselamatanMu yang Kau sediakan di hadapan segala Bangsa. Cahaya untuk menerangi segala bangsa, dan kemuliaan bagi umatMu Israel”.
Suara kaum berjubah itu menyadarkan aku akan jiwa-jiwa yang akan pergi. Jiwa yang berharap dan akan kembali kepada Dia yang mengutus sekaligus pemilik jiwa itu. Ketenangan di bawah lampu taman ini menyegarkan jiwa yang letih karena duka, sembari mengangkat raga; biarlah hambaMu berpulang. Tak ada jiwa yang takut kepergian dan bahkan bahagia dengan penantian itu.
Akhirnya aku kembali, membawa doa dan cita. Aku menyusuri lorong gelap ini sembari di temani suara para berjubah yang menyanyi kidung bahagia, sebab keselamatan itu datang dari Dia yang datang menebus jiwa-jiwa yang berkelana.
Kepergian mereka adalah wakru bagiku untuk terus mengenang setiap kebaikan yang selalu mereka tinggalkan. Di dua Nomvember ini, ijinkan aku menyebut namdalam setiap kata-kata pengharapanku. Di sini aku sadar, hari ini namamu dibacakan dan terdengar luas oleh suara toa gereja, suatu saat namaku akan dibacakan pula. Dari kediamanMu hingga lorong ini; aku bersua dengan doa mengiringi kenangan bersama mereka.
Di Lorong San Juan ini, ada kisah yang memoles aku dalam keheningan dan memantapkan raga ini; sekarang Tuhan, perkenankanlah hambaMU berpulang dalam damai sejahtera menurut sabdaMu.
Darvis Tarung
Kupang, 2 November 2024
Komentar