Dari Sukacita Paska ke Sunyi Kehilangan
Desas-desus
kebangkitan-Nya tak lagi bisu—telah menyebar ke empat penjuru bumi.
"Alleluya!" bergema dari hati yang pernah meragu, kini berseru dalam
yakin yang menyala.
Dia yang dicerca, dilukai, disangkal—telah bangkit dalam cahaya kekekalan,
menyatakan dengan megah: Dia sungguh Allah.
Dan
kami, anak-anak Timor, menyambutnya dengan palate,
suara riang yang merobek keheningan duka Jumat Agung.
Sebab di Minggu yang pagi, di tengah cahaya yang baru,
Dia yang dahulu di salib bagai penjahat,
kini menampakkan wajah-Nya dalam kemuliaan.
Sukacita menyelimuti, dan palate kami menjadi nyanyian jiwa—
bergema dari pelosok hati hingga langit-langit waktu.
Namun,
pagi ini—Senin Paska Kedua—
ketika sukacita paska masih hangat di dada,
ketika palate belum lelah bersuara,
sebuah kabar datang merobek hening: engkau telah pergi.
Dunia
terasa berhenti.
Langit tak berwarna.
Udara kehilangan napasnya.
Kami menangis, bukan sekadar kehilangan,
tapi karena dunia telah kehilangan seorang sahabat jiwa.
Engkau,
yang begitu dekat dengan yang kecil dan tersisih,
yang memeluk dengan kasih tanpa syarat,
yang tersenyum saat dunia mengerutkan kening—
Engkau telah menjadi lentera bagi kami yang tertatih dalam gelap.
Setiap
langkahmu meninggalkan jejak kemanusiaan,
setiap pelukmu adalah perpanjangan tangan Tuhan.
Engkau tidak hanya bicara tentang cinta—
Engkau menjadi cinta itu sendiri.
Engkau tidak hanya mengajarkan harapan—
Engkau menghidupkan harapan itu di setiap tatapanmu.
Kini,
kami tak bisa lagi memandang senyum itu,
kecuali pada foto-foto yang diam di dinding rumah.
Kami hanya bisa memutar kembali waktu,
menyelusuri lorong kenangan,
mencari suaramu dalam sunyi yang menggema.
Papa
Fransiskus, doakan kami.
Anak-anakmu yang kehilangan ini,
anak-anakmu yang dulu kau sentuh dengan kasih,
anak-anakmu yang kini menatap langit dengan mata basah,
memohon agar dari surga,
kau tetap mendoakan dunia yang kau cintai sepenuh jiwa.
darvis_tarung
SHM Kupang, 21 April 2025
Komentar