Yang Tulus-Berjubah

 

Kaki ini melangkah perlahan, menyusuri anak tangga di depan Gereja tua yang penuh kenangan. Setiap pijakan terasa seperti mengetuk pintu waktu, menggiringku pada masa lalu yang tak pernah pergi. Tak ada jalan lain—hanya anak tangga itu, saksi bisu perjalanan batin yang tak pernah aku bayangkan akan berujung di sini. Di tengah gerimis yang lembut, aku melihatnya. Dia. Aku hanya seorang yang menanti waktu kapan bisa bisa berjumpah, dan akhirnya terjawab sudah. Kini penantian panjang tentang waktu, terjawab dalam pertemuan yang singkat di balik rintik-rintik hujan sore.

Aku yang pertama menangkap bayangnya sore itu, namun dia tidak menyadari keberadaanku. Hujan turun perlahan, menyapu tanah dengan kelembutan yang menggetarkan jiwa. Hujan menjadi payung langit bagi perjumpaan yang begitu singkat, namun memahat kenangan yang tak akan terhapus.

Hatiku berdegup tak menentu. Aku tahu dia pernah tersakiti oleh Renya—sahabatku yang pernah begitu dekat dengannya, lalu pergi begitu saja demi cinta yang lebih berkilau. Tak masalah bagiku, itu hanyalah masa lalunya. Setiap orang punya masa lalu, tapi yang terpenting adalah belajar untuk berdamai dengan masa lalu. Walaupun ia telah dikecewakan oleh Renya, ia adalah pribadi yang tulus mencintai. Ahhh aku terlalu PD dengan perasaan ini. seorang yang tulus akan selalu dikejar oleh siapa saja, namun hal itu tidak berlaku bagi Renya. Bagi Renya tidak ada yag lebih baik selain Polly kekasihnya itu. Itu sebabnya ia mengecewakan laki-laki yang ada di depanku saat ini. kadang ketulusan itu dibalas dengan cara yang menyakitkan. Tapi tidak apalah, yang tulus selalu menjadi pemenang di setiap keadaan.

Dan kini, dia berdiri di hadapanku. Bukan dalam cerita yang disampaikan Renya bertahun-tahun lalu, tetapi dalam nyata yang mengguncang ragaku. Aku ingin menjadi pengganti Renya, bila waktu mengizinkan. Tapi aku hanya diam. Sebab aku perempuan, dan perempuan kerap dikebiri oleh harapan yang harus dipendam dalam sunyi.

"Apakah kamu Jack?" tanyaku, pura-pura tak mengenal. Ia menoleh, sejenak menatap, lalu menjawab singkat, "Benar."

"Aku Maria, sahabat Renya." Aku ulurkan tangan, menahan gemetar yang tak bisa kusembunyikan.

"Oh, Maria... nama itu tidak asing. Renya pernah menyebutmu." Senyumnya singkat, namun cukup untuk membakar seluruh harapku. Hatiku bergetar. Jadi selama ini... dia tahu tentangku? Aku membisu. Ingin rasanya aku bertanya lebih banyak, tapi bibirku kaku ditikam rasa.

"Kenapa diam?" tanyanya pelan. "Ada apa, Maria?"

Aku memaksakan senyum. "Tidak, Jack... hanya ingin tahu... bagaimana relasimu dengan Renya?"

Ia menarik napas panjang. "Semuanya sudah selesai. Telah pergi bersama waktu yang pamit di ujung senja. Sekarang, hanya tinggal kenangan yang tak cukup indah untuk dipajang." Ada getar dalam suaranya. Bukan dendam, bukan marah—hanya kelelahan seorang jiwa yang telah belajar berdamai.

"Maaf, Jack. Aku tak bermaksud membuka kembali memori lamamu."

"Tidak apa-apa, Maria. Dari kenangan itu aku belajar bahwa mencintai seorang pribadi saja, terkadang hanya melahirkan luka. Tapi mencintai banyak orang... tidak pernah mengecewakan. Aku hanya sebagai hiburan semata yang tidak ada artinya bagi Renya. Aku memahami mungkin caraku mencintai orang tak seindah dia yang pernah hadir di masa lalunya. Tapi tidak apalah, aku hanya belajar untuk tulus mencintai. "

Aku menatapnya dalam diam. "Jack, apakah... kamu sudah menemukan pengganti Renya? Kalau boleh..."

Ia tersenyum, menyela kata-kataku; "Tidak, Maria. Aku tidak lagi mencari seseorang. Cintaku kini untuk banyak orang. Aku bahagia dengan panggilan hidupku saat ini. aku menikmati jalan ini.  Ini bukan pelarian, tapi panggilan. Aku telah menemukan cinta yang sejati—bukan untuk memiliki, tapi untuk memberi. Aku telah berjubah."

Duniaku runtuh dalam sekejap. Jantungku nyaris tak berdetak. Apa? Jack… seorang Frater? Jack yang aku kagumi selama ini ternyata seorang Frater. Dalam sekejap, semua harap yang kutanam dengan sabar gugur bersama daun di akhir musim. Aku tak menangis, tapi mataku basah oleh rintik yang tak berasal dari langit.

Aku berpaling, melangkah meninggalkannya. Setiap langkah adalah sayatan, setiap napas adalah ratap tanpa suara. Tapi di antara luka, aku tahu—bahwa cinta yang tak memiliki, tetap bisa indah. "Tuhan," bisikku dalam hati, "haruskah aku pendam rasa ini untuk selamanya?"

darvis_tarung

Kupang, 16 Mei 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa