Rosa dan Hening

 

Kelas nampak kosong. Semua penghuninya telah pergi mencari jalan lain, menyusuri kehidupan mereka yang kini tak lagi berbagi ruang yang sama. Di tengah hening, aku sempat berpikir, mungkin tak ada lagi yang tinggal di sini. Hanya sisa kursi yang terbengkalai, terpapang menuju papan yang sunyi, menatap tanpa kata.

"Selamat siang, Mario."

Suara itu datang dari sudut belakang kelas, memecah kesunyian yang memeluk ruangan. Aku terkejut. Ahhhh ternyata masih ada orang di sini, batinku berkata.

"Hai, Ros. Kamu belum pulang?" tanyaku, merasa kaget dengan kehadirannya yang tiba-tiba.

"Bagaimana mau pulang, beta masih beres-beres skripsi ini, beta mau konsul di dosen ni," jawab Rosa dengan logat Kupang-nya yang begitu kental, membuat kata-katanya terasa seperti alunan musik yang indah dan berat.

Aku menghampirinya. Memang, ia tengah berjuang dengan tulisan akhirnya. Raut wajahnya penuh konsentrasi, namun ada kesan tenang di sana. Aku memutuskan untuk menemani di kelas sampai urusannya selesai.

"Ke kantin yuk," ajak Rosa, mengalihkan perhatiannya dari laptop yang tergeletak di meja.

"Baiklah, kebetulan aku belum minum kopi sejak tadi," jawabku, sambil mengangguk setuju. Kami berdua bergegas menuju kantin, melewati lorong-lorong panjang yang sepi, dengan langkah ringan, seperti meninggalkan jejak di dunia yang tak pernah berhenti berputar.

Di kantin, kami duduk di sudut yang biasa. Tempat itu selalu nyaman, walaupun semakin lama terasa semakin sepi. Hanya suara kami yang mengisi ruang itu. Hingga senja pamit pulang.

"Kenapa segala sesuatu selalu ada jawaban ketika beta bicara deng ko?" tanya Rosa, sesekali menatapku dengan tatapan penuh penasaran.

"Karena memang selalu ada pertanyaan," jawabku, tersenyum tipis.

Rosa mengernyitkan dahi, "Beta kadang bingung. Ko pasti selalu ada jawaban yang tak terpikirkan oleh kebanyakan orang."

"Ya, karena kamu bertanya, maka aku menjawab," kataku, dengan nada yang tenang.

"Memang apa sebenarnya yang ada di pikiranmu?" tanya Rosa, penasaran.

"Apa yang aku pikirkan? Yang aku pikirkan ialah bagaimana aku menjawab setiap pertanyaanmu," jawabku, sambil memandang jauh ke luar jendela, menyaksikan langit yang mulai berganti warna.

"Dan kalau aku tanya, apa yang ada dalam pikiranmu sekarang?" Rosa melanjutkan.

"Yang ada sekarang adalah adanya pikiran itu," jawabku, dengan santai.

Rosa tersenyum, namun kali ini senyumannya tampak penuh kebingungan. "Ahhh... terlalu abstrak bagiku untuk memahami kata-katamu."

Aku hanya tertawa kecil, sementara Rosa menatapku dengan pandangan penuh tanda tanya. Namun, senyum di bibirnya tak juga hilang.

"Memang laki-laki tidak pernah mengalah, baiklah," katanya putus asa atas sebuah percakapan. "kita hening saja supaya tidak ada jawaban."

Aku menatapnya, dan sejenak suasana menjadi sunyi. Namun, aku tahu, hening itu bukanlah untuk menghindari jawaban. Justru, dalam keheningan itu, ada sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

"Hening tidak dapat menghentikan jawaban," kataku akhirnya, memecah kesunyian yang terjalin di antara kami. "Justru, dalam keheningan itu ada rasa yang menanti jawaban. Hening adalah langkah kita untuk memberi ruang, untuk spasi, tanpa harus banyak bertanya… Namun dalam hening itu, waktu kita untuk bersua. Walau raga punya jarak, hening malah mengundang kita untuk banyak bertanya dan harus punya jawaban."

Sebenarnya hening ini mengajarku untuk selalu menatap senyumnya yang kadang mengangguku. Entah kenapa, senyum itu menjadi akrab denganku walau datang dan pergi sesukanya. Tahukah Rosa, kalau aku sedang terbawa oleh senyumnya yang tak terlupakan dalam waktu senjaku. Ahhhh tentang Rosa dan hening, menjadi sebuah kisah dan cerita.

Rosa terdiam. Mata kami bertemu, dan dalam tatapan itu, aku tahu, tak perlu lagi kata-kata. Keheningan yang kami pilih adalah jawaban yang tak perlu diucapkan. Sebuah ruang yang penuh makna, tempat pertanyaan dan jawaban tak lagi terpisah, karena dalam hening, semuanya menjadi satu. Kini Rosa penuh kebinggungan, entah apa yang sedang diperbincangkan. Namun yang pasti kebinggungan selalu ada disetiap pertanyaan yang tidak pernah berhenti untuk menjawab.

 

Kupang, 14 Maret 2025

darvis-tarung

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa