Hilang dan Air Mata Gea
Suara jangkrik yang berdesir mengisi
sepi malam, mengiringi kesedihan yang menggulung hati. Di sudut kamarnya, Gea
duduk termenung, wajahnya basah oleh air mata yang tak kunjung berhenti
mengalir. Kehilangan ayah tercinta terasa seperti sebuah mimpi buruk yang sulit
diterima. Kenapa harus begitu cepat? Kenapa harus engkau, ayah? Mengapa Tuhan
begitu tega merancang drama hidup ini untukku?
Gea mengalihkan pandangan ke jendela,
berharap bisa melarikan diri dari kenyataan yang begitu pahit. Tapi tak ada
yang bisa ia lakukan. Hanya kesepian yang menemani, dan tanya yang terus
bergema dalam benaknya. Mengapa? Mengapa begitu cepat?
Berita kehilangan itu datang seperti
petir yang mengoyak langit. Semua yang ada di sekitarnya seolah-olah
mendukungnya untuk menutup diri, mencari ketenangan dalam kesendirian.
Teman-temannya yang khawatir mengetuk pintu, mengirim pesan, namun Gea tak
memberi jawaban. Ia hanya ingin sendiri, meresapi setiap detik yang terasa
begitu berat.
Namun, meski Gea terkungkung dalam
duka, sahabat-sahabatnya tak pernah menyerah. Mereka tetap menunggu di luar
kamar, penuh harap, dengan doa-doa yang tulus untuk ayah tercinta. Di luar kamar,
sahabat-sahabatnya mendaraskan doa rosario menjadi jalan menempuh ketenangan, berharap
sang ayah diberi tempat yang baik di sisi Tuhan.
***
Jito, sahabat yang tak tahu apa yang
sedang terjadi, merasa bingung dan gelisah. Gea yang biasa membalas pesan
dengan cepat, kini seolah-olah menghilang. Kegelisahan Jito tumbuh, dan ia pun
mengirim pesan dengan hati yang penuh kepedihan.
"Gea, ada apa? Kenapa Ge tidak
menjawab pesanku sejak kemarin?" begitu tulis Jito, namun tak ada jawaban.
Jito semakin cemas dan semakin gelisah. Akhirnya, senja datang dan sebuah pesan
singkat muncul dari Gea.
"Bapa sudah pergi… besok siang
saya akan kembali ke kampung."
Kepergian ayah
tercinta itu terasa begitu mendalam. Jito yang turut merasakan kehilangan itu. .
Ia pun
menelpon Gea namun tak juga dijawab. Jito tahu kalau Gea saat ini belum bisa
diganggu. Ia kemudian
mengirimkan pesan yang penuh empati dan kekuatan untuk sahabatnya yang tengah
dilanda duka.
Selamat siang
Ge….maaf aku mengganggumu. Aku tahu saat ini, Ge sangat merasakan kehilangan.
Ge kehilangan orang yang Ge sayang. Saya tahu itu Ge. Saya pernah di posisi
itu. Ayah saya pergi meninggalkan kami waktu saya masih sangat kecil. Kami
belum mengerti artinya hidup. Kami masih terlalu sangat kecil. Sejak ayah pergi
kami seorang diri. Kami ditemani oleh ibunda tercinta yang sangat mencintai
kami. Kami tidak punya siapa-siapa lagi selain bunda. Ge tahu, sejak saat itu,
kami tidak pernah merasakan sosok ayah dalam hidup kami. Kami tidak pernah
dibelai atau dimanja oleh ayah seperti anak-anak seusia kami. Namun, saat ini,
kisah masa lalu itu yang membuat aku kuat dan akhirnya aku mengerti ati
perjuangan hidup. Kini aku mengerti arti sebuah perjuangan tanpa seorang ayah.
Semua kisah hidup pasti Tuhan punya rencananya. Ge tetap kuat. Ge harus
bersyukur karena ayah yang Ge cintai pergi saat Ge sudah dewasa. Ge sudah paham
arti perjuangan. Ge sudah paham arti hidup. Tetap Kuat Ge. Doaku menyertai
jalanmu…….Jito.
Pesan itu sampai ke tangan Gea. Air
matanya terus mengalir, namun kata-kata Jito menembus hatinya, memberikan
sedikit kekuatan. Gea tahu, ini adalah awal dari perjalanan spiritual yang tak
mudah. Menerima kehilangan yang begitu mendalam, namun belajar untuk tumbuh dan
menemukan kekuatan dalam setiap langkah yang diambil.
Kepergian ayahnya, meski begitu perih,
kini menjadi bagian dari perjalanan hidup yang harus ia jalani. Setiap air mata
yang jatuh, setiap rasa sakit yang menggelora, adalah bagian dari proses untuk
memahami makna kehidupan yang lebih dalam. Gea akhirnya menyadari, bahwa meski
kehilangan itu begitu besar, Tuhan selalu memberikan kekuatan untuk bertahan.
Dan meski sulit, ia tahu, hidup harus terus berjalan.
darvis_tarung
Kupang, 29 Maret 2025
Komentar