Laki-Laki Tak Bercerita

 

Bintang-bintang malam itu menari dengan penuh riang, seakan mereka tahu bahwa ada hati yang gelisah di bawah mereka. Di pinggir telaga yang sunyi, suara kodok berpadu dengan angin malam yang lembut, menemani sosok Rosa yang duduk termenung di pendopo rumah tua. Matanya terarah pada langit yang berhiaskan jutaan bintang, namun pikirannya terjerat pada kenangan yang begitu dalam—terutama pada curahan hati Lusy di Puskesmas tadi siang.

Lusy, sahabatnya sejak mereka duduk di bangku SD, kini tengah bergelut dengan sebuah kenyataan pahit yang membuat Rosa tak habis pikir. Setegah itukah kelakuan Willy pada Lusy? Willy yang dulu begitu tampak sempurna di mata Lusy, kini hilang begitu saja tanpa jejak. Rosa merasa ada yang harus ia lakukan, sesuatu yang bisa membantu Lusy agar tidak terus tenggelam dalam kesedihan ini. Laki-laki harus tanggung jawab pada janjinya, pikir Rosa. Tidak boleh ada yang disia-siakan, apalagi cinta yang begitu tulus.

Malam makin larut, namun Rosa tak kunjung beranjak. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya tak bisa berhenti berputar. Lusy kehilangan Willy, itu yang ia tahu, tetapi ada yang lebih dalam dari sekadar kehilangan itu—ada sesuatu yang hampa di hati Lusy yang harus ia cari tahu. Ia ingin menelpon Lusy, tapi ada rasa ragu yang menghentikan niatnya. Malam semakin sunyi, takut jika Lusy sudah terlelap dalam tidurnya yang penuh keresahan.

Namun malam itu tidak seperti biasanya. Heningnya menyelimuti desa, seolah alam pun merasakan kegundahan hati Rosa. Awalnya bintang-bintang itu menari riang, namun kini mereka hanya tampak sebagai titik-titik jauh yang penuh pertanyaan. Suara kodok di telaga pun tiba-tiba terhenti, menambah sepi yang menyelimuti malam itu. Seperti Willy yang hilang begitu saja dari hidup Lusy—pergi tanpa memberi alasan yang jelas.

Segelas kopi di tangannya hampir habis. Rasanya setengah pahit, setengah manis—mirip dengan perasaan yang ia rasakan. Kopi Manggarai, yang selalu bisa menghangatkan hati, kini seolah memberikan rasa yang berbeda, sebuah kehangatan yang tak cukup untuk mengusir kesedihan yang melanda sahabatnya.

Tiba-tiba, suara dering handphone memecah keheningan. Rosa terkejut dan segera membuka kunci layar ponselnya. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Siapa yang mengirim pesan malam-malam begini? Gumamnya dalam hati.

Pesan itu berasal dari Willy.

"Malam Enu Rosa, ini dengan Nana Willy."

Tangan Rosa sedikit gemetar saat membaca pesan itu. Ada apa lagi? Kenapa dia menghubungiku malam-malam seperti ini?

"Enu, apa kabar? Nana berharap enu baik-baik saja. Sebelumnya, Nana minta maaf karena mengganggu enu malam-malam begini. Nana harap enu tidak terganggu."

Rosa menarik napas dalam. Willy tampak seperti orang yang penuh penyesalan. Namun kata-katanya selanjutnya membuat jantungnya berdebar kencang.

"Enu Rosa, enu tahu baik kisah saya dan Lusy. Sejak kuliah, kita sama-sama mengenal, dan saya pun mengenal enu karena Lusy yang selalu menceritakan tentang enu ke saya. Saya tahu, enu pasti teman dekat Lusy. Dan saya ingin enu tahu, selama ini saya bukan menghindar, bukan kabur, bukan tidak ingin lagi bersama Lusy. Tapi ada sesuatu yang saya harus jelaskan."

Rosa merasa ada yang aneh dalam pesan ini. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kata Willy.

"Saya ingin mengungkapkan bahwa sejak saya bersama Lusy, saya mulai aktif dalam kegiatan gereja. Saya ikut bermain bola bersama para frater di biara, dan setelah itu mereka mengajak saya untuk minum kopi bersama. Pada suatu hari, saya diundang oleh teman frater untuk ikut misa di kapela biara pada hari minggu, dan setelah itu mereka ajak untuk sarapan pagi bersama di kamar makan. Sejak saat itu, saya sangat mengagumi kehidupan para frater dan suasana kehidupan komunitas mereka. Sejak itu saya tertarik dengan kehidupan mereka. Saya diam-diam mengikuti tes masuk biara, dan saya diterima."

Mata Rosa semakin lebar saat membaca kalimat itu. Willy, yang dulu berjanji pada Lusy untuk membangun keluarga bersama, kini memilih jalan yang sama sekali berbeda—jalan yang tak ada kaitannya dengan dunia yang pernah ia janjikan pada Lusy.

"Saya tahu saya telah ingkar janji kepada Lusy. Karena itu saya menghubungi enu malam ini, berharap enu bisa menjelaskan semuanya pada Lusy. Saya sudah di biara sekarang, dan saya tak bisa langsung berbicara dengan Lusy. Tolong katakan padanya bahwa saya minta maaf untuk semua ini. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi saya yakin ini adalah jalan yang harus saya pilih. Saya akan selalu mendoakannya dari biara."

Pesan itu berakhir di sana. Rosa terdiam, menatap layar ponselnya yang kini tampak kosong. Kata-kata Willy seolah meruntuhkan dunia yang selama ini ia kenal. Lusy, sahabatnya, telah ditinggalkan begitu saja—oleh seseorang yang dulu berjanji untuk mencintainya seumur hidup.

Tiba-tiba, Rosa merasa tubuhnya lemas. Air matanya tak bisa ditahan lagi, jatuh satu per satu. Ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan semuanya pada Lusy, sahabat yang telah bersamanya sepanjang hidup. Namun yang pasti, ia tahu satu hal—tidak ada yang bisa mengembalikan waktu, dan tidak ada yang bisa mengubah keputusan Willy. Hanya ada kenyataan pahit yang harus diterima oleh Lusy, dan Rosa harus ada di sampingnya, sebagai sahabat yang tak pernah meninggalkannya.

Malam itu, bintang-bintang yang semula menari kini tampak seperti titik-titik yang pudar, meninggalkan Rosa dalam keheningan yang mendalam. Seperti halnya cinta yang hilang tanpa jejak, kenangan itu pun menguap perlahan, menyisakan rasa sakit yang tak mudah dilupakan.

Di bawah langit yang sunyi, Rosa mengangkat secangkir kopi terakhirnya, dan mendoakan agar sahabatnya, Lusy, bisa menemukan kedamaian dalam hatinya, meski dunia tampak begitu gelap.

 

Kupang, 1 Maret 2025

darvis_tarung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa