Berharap
Pagi itu, dunia belum sepenuhnya bangun. Ayam pun enggan berkokok, seolah memberi ruang bagi embun terakhir hujan semalam untuk menetes pelan di ujung dedaunan. Tak ada suara memecah sunyi, hanya desau langkah yang beradu pelan dengan waktu di atas lantai rumah yang belum sempat disentuh dinginnya keramik. Malam telah pergi terlalu cepat, tak cukup bagi tubuh renta untuk mereguk utuh istirahat di atas ranjang tua—ranjang yang diam-diam menjadi saksi perjalanan panjang seorang pengembara: pencari sesuap harapan. Ia Bapak Fidelis. Penduduk sekitar memanggilnya Om Fidel. Ia dikenal seorang yang penuh perjuangan dan pekerja keras, walau usia sudah semakin menua.
Hari itu tak jauh berbeda. Seperti
biasa, sebelum jarum jam menyentuh angka tujuh, Fidelis sudah harus tiba di
toko Aci Maya. Tak ada ruang untuk alasan. Tak ada waktu untuk terlambat.
Perintah Aci Maya jelas dan lugas;
"Selesaikan semuanya sebelum
tengah hari. Lalu antarkan barang-barang ke Pa Dorus bersama Mateus. Jangan
lupa kwitansi. Dan setelah itu, jangan ke mana-mana. Pulang tepat waktu,
Fidelis."
Hidup kadang seperti mesin tua yang
terus dipaksa berjalan, meski pelumasnya kian menipis. Fidelis hanya bisa mengangguk,
memamah perintah itu dalam diam. Dalam hati ia bergumam,
"Hidup ini seperti robot saja... Tapi mau bagaimana lagi? Kalau
pekerjaan ini aku lepaskan, lalu dari mana aku menafkai istriku?"
Ia telah lama bekerja di toko milik Aci
Maya. Tak ada pilihan lain selain bertahan, menggenggam sisa-sisa harapan yang
hampir usang. Hampir setahun lalu ia sempat ingin mengundurkan diri, namun usia
tak muda lagi, dan peluang pekerjaan baru semakin menjauh. Maka ia bertahan,
meski dengan upah yang tak sebanding dengan keringatnya. Dua puluh tahun sudah
ia mengabdi. Dua dekade panjang yang dibayar dengan angka yang tak pernah cukup
mengejar harga kebutuhan.
***
Malam itu, langit membentang sunyi di
atas serambi rumah yang sederhana. Fidelis duduk bersisian dengan istrinya,
secangkir kopi hangat di genggamannya. Di tengah hening malam, seolah waktu
memberi ruang bagi dua jiwa lama untuk saling menatap dan mengenang.
"Ma... mama masih mencintai saya
seperti saat kita pertama kali pacaran dulu?" tanyanya pelan, nyaris
berbisik, seolah takut mengusik angin.
Istrinya menatapnya heran. "Kenapa
tanya begitu, Pak?"
Fidelis menarik napas panjang,
membalikkan wajahnya menatap kegelapan malam yang diam. Suaranya bergetar, tak
kuasa menahan rasa:
"Mama… maafkan Bapak. Belum bisa
bahagiakan Mama sampai hari ini. Setiap pagi, sebelum ayam pun sempat berkokok,
aku sudah meninggalkan rumah. Malam baru pulang, badan lelah, hasil upah pun
tak sesuai harapan. Aku sering tinggalkan Mama sendiri. Kita nyaris tak punya
waktu untuk bercakap, tertawa, apalagi bermimpi bersama. Kadang... aku merasa
hidup ini cuma seperti roda yang tak henti berputar, tanpa tujuan. Aku bekerja,
tapi upahku tak cukup. Aku... aku..." Suara itu terhenti. Air mata jatuh
tanpa aba-aba. Namun tangan istrinya menggenggam erat jemari Fidelis. Lalu
dengan suara yang tenang namun sarat kekuatan, ia berkata:
"Pak... cinta bukan soal harta.
Bahagia bukan soal angka. Kita sudah lewati banyak hal bersama. Janji kita dulu
di hadapan Tuhan tak pernah berubah. Apapun yang terjadi, Mama akan tetap di
sini. Setia. Bersama. Yang Mama butuhkan bukan rumah mewah atau emas permata...
tapi hati yang tidak pernah pergi. Tetaplah setia, Pak. Tuhan melihat
segalanya. Waktunya akan datang, percayalah."
***
Malam kian larut. Bintang-bintang di
langit seolah ikut menyaksikan cinta yang tumbuh dari tanah yang kering, namun
tak pernah mati. Cinta yang tak ditopang kemewahan, tapi mengakar dalam
keikhlasan dan ketulusan.
Kesulitan adalah bagian dari hidup.
Tapi bagi Fidelis dan istrinya, kesulitan adalah tanah tempat cinta mereka
tumbuh dan berbuah. Bertahun-tahun ia bertahan di tengah dunia yang kadang tak
adil, yang sering lebih mengedepankan untung-rugi daripada kemanusiaan.
Namun ketika akhirnya ia memutuskan
untuk berhenti bekerja di toko Aci Maya, ia tidak kehilangan segalanya. Ia
justru menemukan kebebasan, menemukan kembali dirinya—dan yang terpenting,
menemukan kembali kebahagiaan yang pernah nyaris hilang.
Kini, bersama istrinya, Fidelis
menjalani usaha kecil milik mereka sendiri. Tak mewah, tak besar. Tapi cukup
untuk menghidupi, dan lebih dari cukup untuk membahagiakan. Sebab cinta yang
besar, tak selalu lahir dari tumpukan harta. Kadang, ia lahir dari dapur kecil,
serambi bambu dan secangkir kopi hangat di malam yang hening.
Komentar