Para Ibu dan Kekuatannya
Sebuah
kapal menebar layar,
perkasa,
melawan samudra,
mengayun
kipas, menuju ketepian.
Di
sana, waktu berjalan, tertanam di setiap detik ada kilas balik,
tentang
kita di sini, di atas tanah yang kita cintai.
Para
ibu, dengan tangan kokoh dan hati penuh harap
mengayunkan
senjata kata,
satu-satunya
kekuatan yang tersisa.
Sekian
lama mereka berjuang, bak layar kapal beradu dengan angin di tengah samudra.
Mereka
tetap berdiri, walau terjepit oleh kuasa yang buta,
yang
hanya memikirkan yang muluk,
daripada
jiwa-jiwa yang merindukan damai.
Kita
negeri yang kaya, katanya.
Ia
benar.
Apakah
harus merusak pertiwi yang sekian lama telah di waris?
Atau
adat yang telah lama di jaga?
Dan
semuanya hampir terlupakan oleh waktu yang pergi.
Betapa
mirisnya negeri ini,
Ketika
para ibu, telanjang dada,
Menjadi
benteng terakhir, kekuatan dan kepasrahan.
Telanjang
dada para ibu,
tanda
cinta yang membara akan tanah mereka
yang
hampir-hampir terendus oleh mesin-mesin yang tak pernah berhenti.
Sungguh
sedih negeri ini,
Mendulang
kekayaan dengan memeras bumi, hingga akhirnya kehilangan arah.
Lupa
akan masa depan
Lupa
pada anak cucu yang akan merayap sepanjang jaman.
Dari
Ende, surat gembala membawa kabar.
Angin
segar menyusup di setiap jiwa yang terus berjuang,
Menembus
dinding hati yang beku,
Demi
tanah, dan bumi pertiwi seluruhnya.
Di
tahun ziarah harapan ini,
Masih
ada secercah harapan bagi mereka yang terus berharap
semoga
surat gembala dari sang gembala
menembus
dinding hati para pemilik kuasa,
agar
membuka mata dan mendengar jeritan mereka yang penuh berharap.
Mereka
ingin bahagia, melihat anak-anak mereka menikmati alam dan adat
Yang
tak akan terhapuskan oleh waktu.
darvis_tarung
Kupang, 30
Januari 2024
Komentar