Surat Untuk Octavia
Di
kota karang yang dihiasi dengan batu-batu yang menceritakan kisah masa lalu,
aku mengenalmu, Octavia. Sebuah nama yang mengalun lembut di telingaku, membawa
sejumput angin sejuk yang membelai hati. Saat pertama kali bertemu, engkau
seperti sebuah lukisan yang terbingkai dalam waktu. Wajahmu yang cerah, senyum
manja yang tak pernah bisa aku lupakan, mengingatkanku pada senja yang perlahan
merunduk, membawa damai di setiap lekuknya.
Mungkin
itu hanya pertemuan singkat, namun bagiku, itu adalah awal dari sebuah kenangan
yang tak akan pudar oleh waktu. Senja itu, saat kita duduk bersama bibir pantai,
secangkir kopi yang engkau suguhkan tak hanya menghangatkan tubuhku, tetapi
juga hatiku. Dan entah bagaimana, aku tiba-tiba merasakan detak jantungku yang
semakin cepat saat aku tanpa sadar menggenggam tanganmu. Aku merasa aliran
darahku mengalir lebih kencang, seolah-olah waktu itu menyatukan kita dalam
sebuah momen yang tak bisa terulang.
Namun,
waktu memiliki cara yang sulit dipahami. Momen itu berlalu begitu cepat, dan engkau,
Octavia, perlahan menghilang dalam kehidupan yang penuh dengan jalanan tak
terduga. Keheningan menghantui langkah-langkahku setelah kita berpisah. Apa
yang bisa kukatakan pada senja yang sudah pergi? Tak ada jawaban selain
kenangan yang terus berputar dalam pikiran, seperti bayangmu yang menari riang
di sepanjang waktu kita bersama.
Waktu,
bagiku, adalah sebuah perhentian yang penuh dengan rasa, dan aku merasakannya
begitu mendalam setiap kali aku mengingatmu. Rentetan waktu yang kita lalui
adalah kehilangan yang tak pernah bisa kembali. Semua itu hanya menyisakan
kisah-kasih rasa yang entah mengapa sulit untuk dilupakan.
Octavia,
kehadiranmu adalah pernak-pernik indah yang menghiasi setiap detik dalam
hidupku. Seperti bunga yang tumbuh di antara kerikil, engkau membawa keindahan
yang membuatku ingin mengabadikan setiap momen bersamamu. Namun, aku hanya bisa
mengagumi dari kejauhan, seperti seorang penikmat seni yang tak mampu menyentuh
karya yang ada di depannya.
Aku
mengenalmu lebih dalam melalui cerita dari Maria, sahabatmu yang selalu
mengingatkan akan kebaikanmu. Engkau datang ke kota karang untuk menempuh
pendidikan, sebuah impian yang begitu besar, yang engkau raih dengan kerja
keras dan tekad yang luar biasa. Di tengah keterbatasan yang ada, engkau adalah
contoh bagi banyak orang, terutama bagi para perempuan yang bermimpi untuk
meraih mimpi yang lebih. Engkau mahir dalam bahasa asing, suatu kemampuan yang
membuatmu semakin dikenal, bukan hanya di kampus, tetapi juga di hati
orang-orang yang mencintaimu, meski aku hanya diam mengagumimu dari kejauhan.
Ada
rasa yang tumbuh dalam diriku, sebuah rasa yang tak mampu kuungkapkan. Aku
takut akan kehilangan persahabatan kita, takut jika rasa ini merusak apa yang
sudah ada di antara kita. Tapi, entah kenapa, setiap kali aku melihatmu, hatiku
berdebar lebih kencang. Rasa ini bukan sekadar rasa sesaat, tapi sebuah
perasaan yang tumbuh dalam diam, mengakar dalam sanubari, meskipun aku tak
pernah mengungkapkannya padamu.
Lalu
waktu berlalu, dan aku tak lagi mendengar kabar darimu. Nomormu tak kunjung
memberi balasan, dan aku hanya bisa terdiam, seperti menunggu di ujung waktu
yang tak pasti. Hingga akhirnya, Maria memberitahuku bahwa engkau sudah masuk
biara. Ketika aku mendengar kabar itu, hatiku remuk. Semua harapan yang pernah
tumbuh seakan dihantam gelombang yang tak bisa kuhindari.
Aku
sadar, Octavia, bahwa aku hanya seorang penikmat, bukan pemilik. Aku hanya bisa
mengagumi keindahan yang ada padamu, tanpa bisa memilikimu. Keputusanmu untuk
mengabdikan diri pada Tuhan adalah jalan yang harus kuhormati, meskipun itu
berarti aku harus melepaskanmu.
Aku
hanya bisa mengenang setiap jejak yang kita tinggalkan, setiap percakapan yang
pernah ada di antara kita, setiap senyum yang engkau berikan, dan setiap
detakan waktu yang terhenti ketika kita bersama. Kini, di saat-saat sunyi ini,
aku belajar untuk memahami bahwa cinta bukan selalu tentang memiliki, tapi
tentang memberi ruang bagi orang yang kita cintai untuk menjadi siapa mereka
sebenarnya.
Aku
memanggilmu, Octavia, bukan dengan harapan untuk memilikimu, tetapi dengan doa
agar engkau menemukan kedamaian di jalan yang telah engkau pilih. Kamu telah
pergi, namun jejakmu tetap ada dalam hatiku, dan aku akan terus mengingatmu,
seperti sebuah cerita yang tak akan pernah usai, seperti senja yang tak akan
pernah kembali
Kupang,
19 Januari 2024
darvis_tarung
Komentar