Doa Mengubah Takdir

 

Alda duduk di sudut gereja tua, di dekat Tabernakel yang sunyi. Jemarinya menggenggam erat rosario yang kini sudah mulai pudar warnanya, seiring waktu yang terus berlalu. Setiap butir doa yang keluar dari bibirnya terasa begitu berat, seperti menanggung seluruh dunia. "Tuhan, aku sudah berusaha. Tapi kenapa hatinya begitu keras?" bisiknya pelan, matanya berkaca-kaca.

Ia sudah mencoba segala cara untuk membuka mata Ino, kekasih yang begitu ia cintai. Mengajaknya ke gereja, mengingatkan tentang pentingnya iman, bahkan memberi perhatian lebih saat Ino terjatuh dalam kebiasaan buruknya. Namun semuanya terasa sia-sia. Ino tak pernah mendengarnya. Alih-alih berubah, Ino semakin menjauh, bahkan kadang bertindak kasar padanya.

“Alda, kenapa kamu bertahan dengan Ino? Laki-laki itu tidak jelas!” suara Alya memecah keheningan malam. Alya selalu menanggapi hubungan Alda dan Ino dengan skeptis. “Dia pemalas, pemabuk, dan sering kasar sama kamu. Masih banyak laki-laki yang lebih baik di luar sana!”

Tapi Alda hanya diam. Cinta yang ia rasakan bukanlah cinta yang biasa. Itu adalah cinta tanpa syarat, sebuah cinta yang murni, yang ingin Ino menjadi lebih baik. Sebuah cinta yang tak menginginkan keuntungan, tetapi hanya menginginkan kebahagiaan bagi orang yang dicintai. “Aku percaya Tuhan mempercayakan Ino padaku, Alya. Dan aku tidak akan menyerah.”

Namun, suatu hari Ino mengejutkan Alda. Tanpa alasan yang jelas, Ino mengakhiri hubungan mereka. Alda merasakan sakit yang dalam, tetapi ia tahu dalam hatinya bahwa ia harus merelakannya pergi. Dengan air mata yang tertahan, ia mengangkat doa untuk Ino, memohon agar Tuhan membuka jalan untuknya. “Semoga suatu saat Ino menemukan jalan yang benar,” doanya tulus, meski penuh harapan yang terpendam.

Setelah perpisahan itu, waktu terus berjalan. Sepuluh tahun berlalu. Alda, yang kini menjadi Suster Maria, mengabdikan dirinya dalam biara, jauh dari hiruk-pikuk dunia. Namun, meski sudah mengenakan jubah suster, nama Ino tak pernah hilang dari ingatannya. Ia terus mendoakan Ino setiap malam, berharap suatu hari ia dapat menemukan kedamaian dalam hidupnya.

Suatu malam yang mendung, acara Expo Panggilan digelar di Paroki Santo Fransiskus. Berbagai biara hadir dengan stan mereka, memperkenalkan panggilan hidup mereka kepada para hadirin. Alda, yang kini sudah dikenal dengan nama Suster Maria, menjadi Master of Ceremony pada acara tersebut. Ia berdiri di pojok stan, menatap ke luar, menikmati keheningan setelah acara selesai.

Hujan gerimis mulai turun, dan saat itulah ia merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Seorang pria menghampiri dengan langkah hati-hati. Suster Maria menoleh, dan matanya terbelalak saat melihat sosok itu.

"Ino...?" suara Alda hampir tercekat.

Pria yang berdiri di hadapannya kini mengenakan jubah frater, dengan wajah yang lebih matang, namun masih ada kilau keteguhan di matanya. Ino, yang dulu ia kenal sebagai pria yang keras kepala dan sering bertindak sembrono, kini terlihat berbeda.

"Ino, kamu... frater?" Alda bertanya dengan suara yang bergetar.

Ino mengangguk pelan. “Aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana, Alda- ia memanggilnya Alda sebab ia belum tahu nama baru dari suster itu. Sejak perpisahan kita, aku merasa terhilang. Kamu selalu ada dalam doaku, bahkan meski aku tidak pernah bisa mendengarkanmu dulu. Aku mulai menyadari semua kebodohanku. Doamu, perhatianmu, semua itu membawa aku ke sini.”

Suster Maria terdiam. Di depan matanya, Ino berdiri sebagai seseorang yang baru. Bukan lagi pria yang ia cintai dulu, melainkan seorang frater yang menjalani panggilan hidupnya. Sebuah perasaan haru mengalir di hatinya, dan tak bisa ditahannya lagi. Ia menatap Ino, merasakan seluruh perasaan yang terpendam dalam sepuluh tahun itu kembali muncul.

Namaku bukan lagi Alda. Aku Suster Maria. Ungkap Suster Maria membenarkan namanya itu. Percakapan mereka terus berjalan sampai gerimis menjadi hujan.

"Doa itu, adalah cinta yang tidak pernah berhenti," kata Suster Maria, suaranya hampir tak terdengar. "Aku tidak pernah berhenti berdoa untukmu, meskipun aku tidak tahu apa yang terjadi padamu."

Ino menunduk, terharu. "Aku tahu, Alda, eh maaf Suster Maria, maksud saya. Aku tahu. Dan kini, aku datang untuk berterima kasih. Cinta dan doamu telah mengubah hidupku."

Hujan terus turun di luar, namun dalam hati mereka, sebuah cahaya baru bersinar. Bukan karena mereka berdua kembali bersama, tetapi karena mereka tahu, cinta sejati tak pernah sia-sia. Kadang, cinta itu tumbuh dalam doa dan pengorbanan yang tak terlihat, membawa perubahan yang tak terduga.

Dan malam itu, di bawah gerimis yang lembut, mereka berdiri bersama. Tidak sebagai pasangan yang dulu, tetapi sebagai dua jiwa yang telah dipersatukan kembali oleh kasih Tuhan, melalui jalan yang penuh rahasia dan harapan. Dari wajah keduanya terdapat sukacita yang mendalam sebab di panggil pada jalan yang sama.

darvis_tarung

Kupang, 13 Januari 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa