Belis dan Cinta Tertunda

 


Gerimis di malam minggu, membuat setiap jiwa berhenti sejenak. Hujan itu seakan-akan membisukan setiap kata yang ingin diucapkan, menyelimuti kota dalam kesendirian yang dalam. Malam minggu adalah malam yang penuh penantian, namun kali ini, penantian itu terasa lebih pahit. Sonya melangkah pelan di tengah rintik hujan, menyusuri trotoar kota yang dipenuhi kenangan, dengan Wily di sampingnya.

"Sonya, apakah kamu sibuk malam ini?" tanya Wily, suara lembutnya menyusup dalam keheningan malam.

Tidak, Ly, kebetulan aku tukar piket dengan Lusy malam ini.

“Kita jalan-jalan yuk, sekalian refresing,” tawar Wily dengan senyum yang selalu menghangatkan suasana.

Yahh, oke lah... mumpung ada waktu senggang, kataku dalam hati. Tapi Ly, gerimis ini...

"Tenang saja, gerimis akan berhenti kok. Kita tunggu sebentar saja," jawab Wily, meyakinkan.

Beberapa saat kemudian, gerimis benar-benar berhenti, dan angin malam yang dingin menggantikan ketenangan itu. Kami berjalan tanpa arah pasti, namun langkah kaki kami seolah berjalan menuju takdir ditemani Vespa tua yang masih kuat. Kami singgah di berbagai tempat: Taman Tagepe, Kelapa Lima, Taman Nostalgia, hingga akhirnya berhenti di simpang Tirosa. Malam itu terasa berbeda. Aku baru pertama kali dibonceng seorang laki-laki, Wily, yang menurut Mary adalah sosok yang menarik. Setiap perempuan yang mengenalnya pasti terpesona, katanya.

Malam itu, aku tak hanya merasa kagum padanya. Aku merasa nyaman, bahkan tanpa sadar tanganku melingkar di pinggangnya. Wily hanya diam, dan dalam diamnya aku merasakan kehangatan. Malam itu, aku merasa seperti langit yang sedang bersedih, menunggu sesuatu yang tak pernah datang.

Sampai akhirnya kami duduk di bawah patung Tirosa, menikmati kopi hangat dan jagung bakar. Aku merasa canggung. Kenangan perjalanan tadi terasa kaku, terutama ketika menyadari bahwa aku telah memeluknya tanpa sengaja. "Maafkan aku," kataku dengan suara pelan, hampir tak terdengar. "Tadi aku... aku tidak sengaja memelukmu."

Wily menatapku dengan penuh pengertian, lalu tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Sonya."

Empat puluh lima menit berlalu begitu saja, kami diam-diam menyaksikan sekelompok orang muda yang sedang menikmati malam mereka. Ada yang berpasangan, ada yang bersama teman-temannya, seolah-olah dunia malam itu milik mereka.

"Son, coba lihat ke langit," ujar Wily, sambil menggenggam tanganku.

Aku menengadah ke langit yang gelap, hanya terlihat awan tebal yang menutupi segala yang ada. "Kosong," jawabku pelan.

"Ahh, masa?" Wily tersenyum, "Coba perhatikan lebih baik."

Lalu, dengan lembut ia mengarahkan tanganku ke langit. "Langit malam begitu gelap, dan tidak ada artinya tanpa bulan. Orang tidak akan menyaksikan keindahan malam jika langit hanya dipenuhi awan gelap tanpa cahaya bulan. Demikian aku, Sonya. Aku tak berarti tanpa kamu. Aku akan berarti jika engkau izinkan aku menemanimu dalam hidup ini."

Langit yang sebelumnya gelap, perlahan-lahan mulai mengungkapkan kecantikannya. Sorotan lampu dan pancuran air yang mencoba menembus langit, meski tak mampu. Malam yang kelam mulai mereda, dan di antara kami, kata-kata itu meluncur tanpa ragu.

"Aku mencintaimu, Sonya," ujar Wily dengan suara yang gemetar, penuh harap. "Telah lama aku pendam rasa ini. Tapi... maafkan aku jika terlalu terburu-buru. Maukah kamu menjadi pendamping hidupku?"

Dalam kesunyian malam, hatiku berdebar. Keindahan langit malam itu mungkin tak sepenuhnya bisa diungkapkan kata-kata, begitu juga perasaan yang menguasai hatiku. Aku tak bisa menahan diri. Aku mengangguk pelan, "Ya," jawabku, meski hatiku masih penuh tanya.

***

Lima tahun berlalu sejak malam itu. Kami telah berjuang bersama membangun sebuah cerita, dari hal-hal kecil hingga impian besar yang kami rajut. Kami berbicara tentang masa depan, tentang keluarga yang akan kami bangun, dan tentang segala komitmen yang harus kami jaga. Namun, takdir punya caranya sendiri. Semua yang kami bina runtuh karena sebuah hal yang tak terhindarkan: belis.

Perbedaan yang tak bisa dijembatani. Sebuah aturan adat yang seakan mengikat kami pada sesuatu yang tak bisa kami hadapi. Di antara kami, ada cinta yang besar, namun belis memisahkan segalanya.

Aku ingin kabur, menikah diam-diam. Namun adat tak pernah menyetujui. Kami terpisah bukan karena kami tak saling mencintai, tapi karena kehidupan memaksa kami memilih antara cinta dan kehormatan keluarga. Sebuah tantangan yang terlalu berat, yang akhirnya membuat kami memilih jalan masing-masing.

Aku masih sering teringat malam itu. Saat gerimis berhenti, dan aku melihat ke langit bersama Wily. Saat itu, aku merasa langit bisa jadi lebih cerah. Namun kini, langit yang gelap seakan memelukku kembali, dengan cinta yang tak bisa lagi aku miliki. Semua komitmen yang kami bangun bersama akhirnya runtuh, dan aku hanya bisa berharap suatu saat Tuhan membuka jalan, membuka pintu yang mungkin selama ini terkunci.

Karena belis, segala yang kami impikan kini hilang, entah akan kembali atau tidak.

 

darvis_tarung

Kupang, 21 Januari 2025

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa