Bayang Senja dan Nama Pauline

Sore itu, waktu mengalir dengan lembut, seperti hari-hari yang berlalu tanpa suara. Senja belum sepenuhnya pergi, hanya kemerahannya yang mulai meredup di ufuk barat. Suara lembut salam Natal menyapa udara, menggema menghalau sunyi yang senyap. Suara itu, meski begitu familiar, terasa lain hari ini. Ia menggetarkan hati, seakan mengingatkan pada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang belum jelas namun sangat dirindukan.

Hari itu, Kamis malam, adalah pertemuan yang tak pernah kuharap akan terjadi. Aku berjalan sendirian di sepanjang pantai, di bawah langit yang memudar menjadi jingga keemasan. Saat itu, dunia terasa begitu kecil. Hanya ada aku, dan dia—seorang gadis yang hadir begitu mendalam dalam hidupku. Seolah aku adalah penguasa dunia ini, dan dia adalah satu-satunya alasan aku ada di sini, dalam ruang yang hanya milik kami berdua.

Di pantai itu, angin membawa sentuhan lembut, dan ombak pun bergulung pelan. Aku memegang erat tangannya. Rasanya seperti dunia berhenti berputar, dan hanya ada kami berdua di ruang yang tak terjamah oleh waktu. Lalu, dengan lembut, aku mengecup keningnya. Sentuhan itu hangat dan penuh makna, seperti doa yang tak terucap, tapi mengalir begitu dalam di hati. Ia terbaring manja dalam dekapan hangatku, tubuhnya begitu dekat dengan tubuhku, kami saling menyatu dalam keheningan yang lebih berbicara dari segala kata.

Malam semakin larut, namun aku tak ingin mengakhirinya. Aku ingin tetap di sana, dalam pelukan ini, di tempat yang hanya ada rasa dan keheningan. Tapi tiba-tiba, sebuah suara kecil mengganggu pendengaranku. Nyamuk berterbangan di sekitar wajahku, dan saat itulah aku tersadar. Aku terbangun dari mimpi. Semua yang kurasakan, semua yang terjadi, hanyalah sebentuk mimpi.

Aku bangkit dari tempat tidur, terengah-engah, berusaha menenangkan diri. Apa arti mimpi itu? Apakah aku mencintainya begitu dalam, sampai terbawa dalam mimpi yang begitu nyata? Ah, ini hanya mimpi, kataku pada diri sendiri. Hanya mimpi yang mengalirkan haru yang begitu dalam.

Namun, aku tidak bisa menepis perasaan yang tumbuh di dalam hatiku. Mimpi itu, walau hanya mimpi, terasa begitu nyata. Seperti menggambarkan sebuah kenyataan yang akan datang, yang aku sendiri belum siap menghadapinya. Aku tak pernah percaya bisa merasa seintens ini pada seseorang. Tapi kenapa, begitu aku memandangnya, segala sesuatu di dunia ini seperti berubah? Senyumnya—senyum yang tak pernah hilang dari bayanganku—membuatku merasa seolah aku terhanyut dalam lautan perasaan yang tak terduga.

Namanya Pauline. Kini aku sadar, dia telah mengubah hidupku. Kehadirannya di dunia ini telah memberi warna yang sebelumnya hilang. Bahkan, bayangannya yang masih tersisa dalam senja yang pudar itu terasa begitu nyata. Entah bagaimana caranya, dia telah menjadi bagian dari jiwaku, bagian yang tak bisa aku lepaskan.

Aku tersenyum dalam senja yang semakin memudar, berharap, berdoa, agar suatu hari nanti, perasaan ini tidak hanya menjadi mimpi. Aku ingin ia menjadi bagian dari hari-hariku, bagian dari hidupku yang lebih nyata.

Dan aku tahu, untuk pertama kalinya, aku jatuh cinta.


Kupang, 27/12/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa