Sang Penghibur dari Galilea

Lagu Natal mulai terdengar lembut dari Bukit Oepaha, membalut malam dengan ketenangan. Petasan milik Savio dan kawan-kawan berdentum di udara, memecah keheningan yang hampir sempurna. Suara riang anak-anak, termasuk Fransiska yang terus merengek meminta baju baru dari Mama Maria, melengkapi kegembiraan malam itu. Sementara itu, Bapa Agali sibuk menawarkan leis babi dua ekor miliknya, suara tawar-menawar mencairkan suasana yang semestinya damai.

Taman kota dipenuhi lampu kelap-kelip yang bersinar seperti bintang di langit, menari-nari dalam bayangan hiasan Natal yang indah. Natal su dekat, demikian semboyan anak-anak kuliah yang menanti libur pulang kampung. Wajah-wajah ceria anak-anak kuliah yang tengah menanti liburan pulang kampung juga tak bisa disembunyikan. Mereka berbicara tentang kebahagiaan, tentang pulang ke rumah, tentang Natal yang seharusnya penuh dengan sukacita. Lagu Aku rindu rumah terdengar dilorong-lorong San Juan bahkan sampai di lembah Gang Sabaat menggema.

Namun, di tengah riuhnya Natal yang kian dekat, aku malah terjebak dalam kesunyian. Secangkir kopi menemani senja dan terbuang dalam bayang-bayang natal tahun ini. Brito sudah lama tak memberi kabar, dan itu yang membuatku semakin cemas. Aku menunggu dan menunggu kabar darinya yang tak kunjung datang. Setiap kali aku mencoba menghubunginya, ia selalu sibuk dengan alasan yang tidak pernah jelas. Apakah ia sedang menjauh dariku? Apakah ia tak lagi menganggapku berarti?

Sudah berbulan-bulan sejak kami terakhir bertemu. Aku menahan perasaan, membungkusnya dengan harapan. Aku ingin sekali memberitahunya betapa dalamnya rasa ini, betapa aku ingin dia menjadi bagian dari hidupku. Namun, selalu ada alasan untuk menunda. Dan ketika Natal semakin dekat, hatiku semakin diliputi kekhawatiran. Tak ada jawaban yang pasti akan penantian ini, hanya bayang-bayang natal yang semakin mendekat. Apakah ia akan kembali? Atau apakah aku harus menerima kenyataan bahwa ia mungkin telah pergi untuk selamanya? Atau mungkin kepastian yang dijanjikan itu telah pergi dan mendarat pada kenyamanan hati yang lain? Tidak. Brito telah berjanji untuk tidak pergi. Ia hanya memberi waktu sejenak. Brito tidak mungkin melakukan itu. Ahh aku terlalu menghibur diri.

Ketika aku berpikir Natal tahun ini hanya akan menjadi perayaan yang hampa, sebuah notifikasi WhatsApp muncul di layar ponselku. Nama Brito MyMomang tertera di atasnya, seolah menembus kabut gelisah yang menyelimuti pikiranku.

Halo Enu… Enu apa kabar?

Pesan singkat itu seperti mengusir lamunan panjangku. Kenapa baru sekarang? Kenapa baru kali ini dia menghubungiku setelah sekian lama? Hatiku berdebar saat membaca pesan itu. Rasa rindu dan kecewa bercampur aduk, tetapi aku berusaha menjaga agar kata-kataku tetap tenang saat membalasnya.

Brito, aku baik-baik saja. Aku hanya... aku menahan diri. Aku ingin bertanya banyak hal, ingin menyampaikan perasaan yang terpendam, tetapi aku tahu ini bukan waktu yang tepat. Mungkin dia hanya ingin tahu kabarku, atau mungkin lebih dari itu.

Akhirnya aku tidak mampu membendung list pertanyaan yang terus muncul dalam pikiranku.

Nana, saya kabar baik. Nana apa kabar? Kenapa baru  WA saya? Kemana nana selama Ini? Nana baik-baik saja kan?

Aku me-list pertanyaan yang tidak sempat aku tanyakan sekian waktu ini. Mungkin saja Brito binggung dengan sikapku yang kadang labil untuk bertanya. Andai saja Brito tahu gelisaku saat ini, ia pasti memberi kabar, datang mengunjungi aku, dan menjanjikan kado natal terindah bagiku. Ia pergi tanpa ada kabar pun. Namun sekarang ia kembali dan hanya sepenggal pertanyaan; enu apa kabar?

Kenapa dia baru kembali sekarang, setelah sekian lama menghilang? Aku tak tahu harus berkata apa. Tetapi hatiku terus bertanya, mengapa dia tidak pernah menjawab pertanyaanku yang sebenarnya—tentang hubungan kami, tentang masa depan yang aku impikan bersamanya.

Ternyata, dalam percakapan singkat itu, aku baru mengetahui kenyataan yang tak pernah aku duga. Brito, yang dulu selalu menjadi pelindung dan harapanku, kini telah memutuskan untuk memasuki seminari di Kota Karang. Ia ingin menjadi seorang imam.

Seketika dunia sekitarku terasa runtuh. Natal kali ini berbeda. Tidak ada lagi tawa, tidak ada lagi kebahagiaan yang sama seperti dulu. Aku merasa kehilangan. Namun, setelah beberapa lama, aku menyadari sesuatu yang lebih dalam. Rasa yang aku pendam selama ini, yang aku kira akan mengikat kami selamanya, ternyata hanya sebuah perjalanan yang harus aku terima dengan ikhlas.

Aku tidak bisa lagi memaksakan rasa ini. Brito telah memilih jalan hidupnya, jalan yang berbeda dari apa yang aku impikan. Aku harus merelakan kepergiannya, bukan karena aku tidak mencintainya, tetapi karena cinta sejati bukanlah tentang memiliki, melainkan tentang mendukung pilihan yang membuatnya bahagia.

Hari-hari setelah itu berlalu dengan tenang. Lampu-lampu Natal yang sudah di pasang tetap bersinar di taman kota, dan suara petasan milik Savio tetap meriah di udara. Namun, hatiku mulai menerima kenyataan. Aku sadar, Natal kali ini bukan lagi tentang aku dan Brito, tetapi tentang kedamaian dalam menerima setiap takdir yang datang. Aku ikhlas, seperti bintang di langit yang tetap bersinar meski terkadang tertutup awan.

Dengan senyum yang ikhlas, aku menatap langit malam. Sebuah lagu Natal mengalun lembut di telingaku, membawa kedamaian yang tak terucapkan. Semua yang terjadi adalah bagian dari perjalanan hidup, dan aku akan menjalani setiap langkahnya dengan hati yang lapang.

Hati yang lelah berharap, dan harapan yang telah runtuh oleh jalan panggilan, aku seharusnya kembali bangkit dan bahagia. Ditengah kegelisahan ini, aku yakin ada sukacita dari Galilea yang memberi ketenangan seusai jiwa yang runtuh oleh keadaan. Aku menanti Sang Penghibur dari Galilea.

Kupang, 7/12/2024

darvis_tarung


Komentar

Anonim mengatakan…
Beautifull
Konstantina☕ mengatakan…
🔥♥️

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa