Salam dari Fransiska




Seorang gadis berparas cantik, menggena topi merah, senyum manis di sudut pendopo Gereja. Aku tidak mengenalnya namun ia sangat aktif dalam setiap kegiatan gereja, termasuk ia menjadi penggerak utama OMK di Paroki ketika kami tiba. Sedikit aku berpapasan dengannya saat ia mengangkat tas yang aku letak di atas kursi dekat pintu masuk gereja.  Tak dapat aku duga pertemuan yang awalnya saya rasa biasa itu kemudian menghantarnya menjadi seperti yang pernah ia mimpikan.

Makasih ya de…..kataku singkat menghormati kepekaannya itu.

Ia sama-sama kak efer.

Percakapan singkat di hari pertama itu kemudian menjadi sebuah jejak untuk menggali kisah lebih dalam. Ia sangat aktif menganimasi semua kegiatan waktu itu. Dari semuanya gadis itulah yang paling dihormati bahkan disegani oleh teman-teman OMK di paroki itu.

Efer…semuanya sudah beres. Demikian suaranya yang membuat aku kaget karena tiba-tiba muncul dari belakang panggung. Yahh ade baiklah….tapi maaf ade, Kaka belum tahu siapa namamu ade?

Oo ya…kak efer…maaf tidak sempat kenal. Nama saya Fransiska Magdalena, ketua OMK di paroki ini.

Oo yahh…Fransiska Magdalena, nama yang keren. Pujiku singkat. Ia tersipu malu, seraya mengucap terimakasih dalam hati karena aku memujinya singkat.

Ade su kelas berapa?

Beta kelas dua SMA kaka Efer…

Wah…satu tahun lagi su tamat e….nanti lanjut dimana ade?

Belum tahu kaka Efer, mungkin….ia menghentikan kata-katanya sejenak. Ahhh tidak tahu lagi kaka Efer. Ia kelihatannya berada pada persimpangan pilihan. Atau mungkin ia sedang menghadapi suatu persoalan. Aku tidak berani menyatakan keprihatinanku, takut kalau hal itu yang membuatnya tersinggung.

Disela-sela kegiatan itu, ia menghampiri aku dan memberikan juga air minum. Hal yang sama ia lakukan juga untuk teman-teman frater yang lain. Dalam waktu yang singkat itu, kami sempat bercakap-cakap sekaligus merancangkan kegiatan untuk esoknya. Dari raut wajahnya, ia sepertinya sedang menyimpan suatu hal, namun ia tak sempat mengungkapkannya. Hari-hari selama kegiatan itu, ia terus mencuri waktu agar bisa bercakap-cakap denganku. Ia semakin akrab denganku, sampai teman-temannya yang lain merasa risih, dan bahkan mereka melabeli- Frabsiska dengan sebutan Si Cari Muka. Ia menganggap semuanya biasa-biasa dan kerena memang ia merasa kedekatannya dengan aku wajar-wajar saja tidak ada yang berlebihan.

***

Lima hari kami berada di tempat ini. Dengan berbagai dinamika yang telah dirancang telah kami jalani bersama umat dengan sangat baik. Tibalah malam yang dinantikan namun pula malam yang mengharukan. Dalam agenda yang telah kami buat, hari kelima masa live-in kami, ditutup dengan acara malam pentas seni.

Lampu sorot sudah mulai terpasang dan terangnya menembus gelapnya langit malam itu. Setiap KUB berlomba-lomba menampilkan acaranya mulai dari anak-anak, OMK dan juga orang tua. Kesempatan ini jarang mereka alami, dan kerena itu mereka berlomba-lomba bahwa mereka bisa menampilkan yang terbaik.

Sambil menikmati acara yang ditujukan, Aku duduk di kursi paling kiri bagian belakang. Di sampingkku ada kursi kosong yang ditinggalkan oleh Sonya anak bapak ketua wilayah. Selang berapa menit Sonya pergi, kursi itu diduduki oleh gadis yang bukan asing dalam kepalaku. Fransiska. Ia lalu membuka percakapannya dengan nada minta waktu;

Efer bolehkah aku bicara sebentar?

Ya. Silakan saja. Bagaimana?

Tak terasa waktu kita bersama sudah diujung pertemuan. Besok kaka Efer akan kembali ke seminari. Banyak hal yang aku alami selama kita bersama. Banyak kisah yang aku tenun dalam raga yang pernah jumpa dalam waktu ini. Namun semuanya akan menjadi sebuah kenangan untuk dikisahkan kembali pada suatu waktu nanti. Mungkinkah waktu ini akan terulang lagi? Sebenarnya waktu empat hari ini terlalu singkat bagiku dan juga umat disini. Namun……….Ia menghentikan pembicaraannya, sambil mengusap air mata tanda perpisahan dari sebuah perjumpaan mulai nampak.

Yahhh lupakan semuanya itu. aku minta doa dari kaka efer. aku punya niat untuk masuk biara, namun mama dan papa tidak menyetujuinya. Papa dan mama malah menjodohkan aku dengan Ameta, anak dari sahabat papa. Papa ingin agar persahabatan mereka tidak putus, baiklah aku harus menikah dengan Ameta. Namun…. mereka tidak peduli dengan perasaanku.

Malam itu, sukacita pentas seni terasa menguap, tergantikan oleh kesedihan dan keputusasaan dalam hati Fransiska. Aku tahu, perpisahan kami bukan sekadar tentang waktu yang singkat, tapi tentang keputusan besar yang harus ia hadapi.

***

Lima tahun telah berlalu, tanpa ada kabar. Percakapan terakhir hanya terjadi di malam pentas seni itu. Perpisahan itu ditandai dengan air mata dan juga janji untuk saling mendoakan. Tiba-tiba Alan, teman seangkatanku mengetuk pintu kamar.

 Broo….Ada Salam. Demikian katanya singkat.

Ahhh sembarang saja. Kataku balas.

Ia betul salam dari sahabatmu Fransiska. Aku menjumpainya tadi waktu aku mengantar undangan di susteran Paroki. Katanya Ia mengenalmu waktu live-in di parokinya mereka. Tadi dia titip pesan, katanya Terimakasih untuk doamu, dia sudah jadi suster. Ini surat darinya.

Aku menerima surat itu dan tak sabar membukanya. Penasaran meliputi hatiku karena Alan menyebutnya seorang gadis yang sudah jadi suster. Namanya Fransiska, sahabatku.

Halo kaka efer…Salam jumpa lagi Kaka efer…apa kabarmu disana? Harapanku Efer baik-baik saja. Terimakasih untuk doamu kaka Efer….aku tidak jadi menikah dengan Ameta. Sekarang aku jadi suster dan tahun lalu sudah mengikrarkan kaul.

Adikmu, yang meminta doamu

Sr. Fransiska Magdalena.



Tulisan itu berasal dari Fransiska, gadis yang pernah berbagi kisah denganku beberapa tahun lalu. Kini, ia adalah seorang suster, Sr. Fransiska Magdalena, sebagaimana yang ia cita-citakan waktu itu. Kenangan akan pertemuan singkat kami selama live-in itu, air mata yang pernah jatuh dari matanya, dan harapan yang ingin ia gapai, semuanya kini terwujud dalam pilihan hidupnya yang penuh perjuangan.

Aku duduk diam sejenak, memegang surat itu. Sembari bersyukur dan lantunkan kata "Terimakasih Tuhan", karena telah mengabulkan doaku dan harapan Fransiska. Kisah kami bukanlah tentang jarak atau waktu, melainkan tentang hati yang mendukung, saling mendoakan, dan saling menguatkan. Dan aku tahu, doa yang pernah kami panjatkan dan perjuangannya telah mengantarkan Fransiska menuju jalan hidup yang ia pilih dengan penuh keyakinan.

darvis_tarung

Kupang, 14/12/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa