Kursi Kosong Untuk Ema
Hampir dua setengah jam aku
duduk menantinya di sini. Dalam lirikku tak tersilihkan dengan baju hijau kekhasan
fakultas mereka, sebagai tanda identitas diri. Deretan bangku kedua disamping
belakangku, dipenuhi dengan mereka yang beralmamater hijau tua itu. Adakah dirinya
diantara mereka? Perasaanku menantinya seperti jagung yang baru tanam menanti
datangnya hujan. Sekian kalinya aku bersama mataku tertuju pada pintu masuk- mudah-mudahan
wajahnya ada diantara mereka yang masuk. Ternyata pandanganku itu hanya
membuat mataku perih tak beralasan.
Ema dimana?
Satu-satunya caraku agar aku tak dapat lelah
memperhatikan mereka yang terus datang. Seandainya Ema datang, tahukah
ia bahwa aku lama menantinya di sini? Setelah lima belas menit Ema belum
juga menjawab. Aku
tahu, acara ini bukan acara penting baginya, tapi aku berharap dia ada di sini,
duduk di kursi yang telah aku siapkan untuknya. Kursi kosong itu semakin
menambah rasa cemasku.
“Acara kita akan dimulai lima
menit lagi. Untuk semua tamu undangan segera menempati kursi yang masih kosong”. Kata
pemandu acara dengan suara yang memaksa.
Ingin aku protes; sabar
dulu, Ema belum datang. Tapi aku hanya bisa menahan diri, tak
ingin terlihat konyol di hadapan orang-orang. Mereka akan menertawakanku
sampai tujuh turunan. Lagi pula, Ema bukan siapa-siapa, juga aku bukan siapa-siapa
di acara ini. Namun yang kutakuti adalah kursi kosong yang kusiapkan untuk Ema
akan diisi oleh orang lain.
***
Menunggu adalah pekerjaan yang
memberatkan bagiku. Menunggu tidak menguras keringat, namun menguras pikiran
yang terus berkecamuk dalam sudut-sudut penantianku. Tak dapat ku hitung
berapa lama aku harus menanti dalam ketidakpastian tentang perasaan. Benar kata
Fransiska sahabatku, bahwa kadang menunggu tentang rasa itu mengorbankan
segalanya. sekian waktu aku habiskan untuk menunggu. Jangankan salam sapa tatap
muka, menunggu balasan WA saja tidak kunjung ada. Inikah namanya budak cinta? Atau
mungkin aku terlalu mengharap kehadirannya dia dalam detikan waktu hidupkku? Sampai
kapankah aku harus menunggu yang tidak pasti ini?
Kursi kosong yang aku siapkan untuk Ema di acara temu fakultas itu, telah ditempati oleh orang lain. Ingin aku mengomel kepada pelayan, namun aku tak dapat. Kursi itu untuk Ema-ku, hatiku bersuara. Tidak ada yang bisa kulakukan. Kursi itu, kursi yang aku anggap sebagai simbol dari penantian panjangku untuknya, kini sudah tidak ada.
Waktu tak bersahabat denganku
untuk berhenti sejenak. Ia terus melangkahkan kakinya, membuat hari berlalu,
bulan pergi dan kini hanya rasa menunggu yang masih tertinggal. Aku terjebak
dalam penantian yang panjang- menanti Ema kekasihku.
***
Pagi yang cerah menitip
kehangatan pada badan yang telah diselimuti dingin pada hujan semalam. Aku membereskan
semua perabot rumah, termasuk si Doly kecil, anjing kesayanganku. Si Doly
seolah-olah menertawakan diriku yang selalu berharap akan Si Ema yang
aku sebut sebagai sang calon mempelaiku. Aku menyebutnya calon mempelai karena
aku terlanjur jatuh pada daratan hatinya yang lembut itu, dan aku pikir dia
segalanya bagiku dan tak ada yang lain lagi. Si Doly tak tahan dengan
keadaanku, seolah-olah ia mau katakan; betapa bodohnya dirimu yang selalu
berharap yang tidak pasti. Persetan…batinkku memberontah. Apapun yang
terjadi Ema adalah mempelaiku. Ahh bodoh amat. Apapun kata si Doly aku tak
dapat hiraukannya, walaupun ia tak sempat berkata-kata.
Tukang pos datang membawa
surat tak beralamat-siapa pengirimnya. Ingin aku mengadu kepada tukang pos itu
kenapa ia menerima surat tanpa alamat penggirimnya. Namun, pikirku mungkin
surat itu dari Fransiska yang memberiku kejutan ulang tahun berupa
sebuah tiket bioskop film Kuasa gelap.
Terimakasih, kataku singkat
kepada tukang pos itu sambil menanda tangan pada slip bukti pengiriman telah diterima.
Surat misterius, kataku dalam hati. Akupun tak sabar untuk membuka surat
misterius itu.
Ine…..sengaja tak kutulis pengirim surat ini. Aku harap ine
masih ingat aku yang pernah hadir dalam hidupmu. Maafkan aku yang tidak memberi
kabar denganmu. Maafkan aku yang pergi begitu saja dari hadapan ine tanpa
sepengetahuan. Maafkan aku yang telah mengambil keputusan sepihak tentang
pilihan hidupku ini. Ine….aku sudah masuk di seminari.
Ema
Hatiku rasanya hancur dalam sekejap.
Semua penantian yang tak terhitung panjangnya itu kini sia-sia. Aku merasa
seperti diikat pada sebuah harapan palsu yang hanya mengarah pada kehampaan.
Ema telah pergi dan tak akan kembali lagi. Dia memilih jalannya, dan aku hanya
bisa terdiam. Penyesalan menyusup, menggerogoti setiap sudut perasaan yang
telah lama tertahan.
Aku mencemburui Pencipta, yang
memanggil Ema untuk menjadi alat-Nya. Aku merasa bodoh, terjebak dalam
penantian yang tiada henti, menunggu sesuatu yang tak akan pernah ada. Kursi
kosong itu, yang dulu kuharapkan penuh dengan kehadirannya, kini hanya menyisakan
kenangan pahit.
Akhirnya, aku sadar, penyesalan itu
datang terlambat.
Komentar