Dua Jalan; Jejak Cinta Yang Tak Terlupakan
Kulangkahkan
kaki, menyusuri jejak lama di sebuah sekolah tua, yang termakan usia. Walau pu
begitu, kenangan yang pernah aku gores disana tak termakan oleh waktu yang
pergi tanpa kembali. Hanya memori lama yang menjadi saksi bisu sekaligus
membongkar kenangan bersama Nana, yang aku sebut pengagum rasahasiaku dulu.
“Eh,
mau ke mana, Nel?” teriakku melihat Nela berjalan menjauh.
“Sebentar,
aku cuma mau cari minum,” jawab Nela sambil terus melangkah. Aku hanya
menggerutu dalam hati. Rasanya waktu berjalan lambat. Aku menunggu, tidak sabar
untuk kembali bertemu dengan Nana pengagum rahasiaku..
“Selamat
pagi, Suster cantik,” sapanya lembut. Aku
berbalik badan. Tanpa sengaja, mata kami bertemu, dan dalam sekejap, dunia
terasa hening. Seolah hanya kami berdua yang ada di dunia ini. Di balik
senyumnya yang mempesona, aku merasakan sesuatu yang lama tak kutemui. Nana Adryan,
pengagumku kala itu.
“Eh,
Adryan, apa kabar?” tanyaku dengan canggung, meski hatiku berdetak kencang.
“Kabarku
baik. Kamu juga kan?” jawabnya sambil mengulurkan tangan. Aku menyambutnya,
tapi tanganku sedikit gemetar. Semua yang terjadi begitu cepat, namun terasa
begitu berharga. Suasana yang semula canggung mulai mencair, seiring dengan
percakapan kami tentang kehidupan, masa lalu, dan masa depan.
Namun,
dalam setiap tawa, dalam setiap kata yang keluar dari mulutnya, hatiku seakan
bergetar. Aku mengingat dengan jelas betapa aku dulu jatuh hati padanya, namun
tak pernah berani mengungkapkannya. Kini, Adryan yang duduk di depanku,
memujiku, membuat aku semakin bingung. Apakah ini saat yang tepat untuk mengungkapkan
perasaan itu? Namun, di dalam hatiku, ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu
yang sudah kupilih jauh sebelum hari ini. Aku seorang suster, dan aku telah
berjanji untuk setia pada jalan ini.
Saat
percakapan mulai mereda, aku mendengar suara Nita, teman lama kami,
menginterupsi.
“Jadi,
kamu sudah punya pacar?” tanya Nita yang mengarah pada kehidupan pribadiku,
atau lebih tepatnya pada perasaan yang selama ini kusembunyikan.
Aku
hanya tersenyum, menggelengkan kepala. “Tidak, Nita. Aku tidak punya pacar.
Tempat biara itu ketat peraturannya. Mungkin, aku tidak bisa untuk itu.”
Nita
menatapku dengan penuh pengertian. “Tapi kamu pernah jatuh hati, kan?” tanyanya
pelan, seakan tahu ada sesuatu yang terpendam dalam diriku.
Aku
hanya mengangguk. Tentu saja, seperti wanita pada umumnya, aku pernah jatuh
hati. Tapi entah mengapa, hatiku tak bisa berpaling dari jalan yang telah
kutempuh. Adryan, aku ingin sekali mengungkapkan apa yang ada dalam hatiku,
tapi aku tahu, aku tak bisa, ungkap ku dalam hati.
Sebelum
pulang, kami saling berpamitan. Aku ingin sekali memeluknya, mengungkapkan
semua perasaan yang ada, tapi tidak. Aku hanya bisa mengucapkan selamat
tinggal.
“Adryan,
terima kasih sudah hadir di hidupku. Doakan aku, ya,” ucapku, mencoba untuk
tetap kuat.
Sesampainya
di rumah, aku termenung lama, merenung di tengah malam yang sunyi. Ada dua
jalan yang kini terhampar di depanku. Jalan yang satu adalah cinta yang
kutinggalkan demi panggilan hidupku. Jalan yang lain adalah dunia yang penuh
dengan kebahagiaan duniawi, yang mungkin saja bisa kumiliki jika aku memilih
untuk mencintai Adryan.
Namun,
aku tahu bahwa hidup adalah pilihan. Aku telah memilih jalan ini, jalan yang
penuh tantangan dan pengorbanan. Mungkin ini bukan pilihan yang mudah, tetapi
inilah yang kuinginkan. Aku ingin hidup untuk Tuhan, dan aku ingin menjalani
hidup sebagai suster, meski itu berarti harus mengubur perasaan yang ada.
Aku
duduk di meja, menulis surat kecil yang kutujukan untuk Adryan. Tidak untuk
menjelaskan, tetapi untuk mengungkapkan segala perasaan yang kupegang erat. Aku
menulis dengan hati yang penuh.
Adryan,
terima kasih telah hadir dalam hidupku. Aku mengagumimu, tetapi aku harus
berjalan di jalan ini. Mencintai tidak harus memiliki. Dan aku ingin tetap
setia pada panggilanku. Semoga suatu saat kita bisa bertemu kembali, dalam
keadaan yang berbeda.
Aku
melipat surat itu dan menaruhnya di dalam kotak kecil. Kemudian, aku duduk
dalam keheningan, berdoa.
Bapa,
aku mohon, tuntun aku. Biarlah hidupku berbuah bagi sesama. Jika jalan ini yang
terbaik, biarlah aku tetap setia.
Hidup itu pilihan. Pilihan yang lain harus ditinggalkan, dan yang satu dipilih untuk ditekuni.
Komentar