Di Balik Pasar dan Mimpi

 

Setiap kali Jeane memandang foto itu, serasa waktu membekukan langkahnya. Wajah di dalam bingkai, seakan bisikan lembut dari masa lalu, memanggilnya kembali ke pelukan kenangan yang hangat, namun kini telah berkarat oleh kesedihan. Bertahun-tahun lamanya, Jeane merana dalam labirin ketidakpastian, menanti kehadiran sosok yang telah pergi. Sejutah harapan yang ia gantung, kini hanya serpihan kenangan yang tak lagi utuh, meresap dalam relung hatinya yang paling dalam.

Di bawah sinar mentari yang terik, suara kepala sekolah menggema, membawa kabar tentang pertemuan orang tua murid. "Semua siswa diharapkan untuk menyampaikan pesan ini kepada orang tua masing-masing." Jeane mendengarnya, namun kata-kata itu terasa jauh. Di benaknya, terlintas sosok mama yang selalu sibuk, terbenam dalam hiruk-pikuk pasar, menjual sayur demi sesuap nasi.

"Bisakah mama datang ke sekolah nanti?" tanyanya, meski dia tahu jawabannya. Raut wajahnya mencerminkan harapan yang samar, terperangkap dalam antara keinginan dan realitas. Mama, wanita yang tak pernah mengenal lelah, selalu tersenyum meski hatinya dipenuhi luka. Senyuman itu, walau sering kali menghangatkan, tetap tidak mampu menutupi kesedihan yang mengintip di sudut-sudut mata.

Ayah telah pergi, menuju keabadian yang tak terjangkau. Jeane sering bertanya-tanya, apakah ada waktu untuk berjumpa kembali? Atau, mungkinkah ia bisa bertanya kepada Tuhan, kapan ayah akan kembali? Namun, semua itu hanya ilusi, satu harapan kosong yang berlarian di benaknya. Hari demi hari, Jeane menyaksikan mama berjuang, menghadapi derasnya gelombang kehidupan dengan keteguhan yang tiada tara.

Mama, pahlawan dalam balutan kebersahajaan, menyalakan semangat dalam diri Jeane. Setiap pagi, saat matahari mulai merangkak naik, Jeane melihat kilau harapan dalam mata mama. "Tetaplah kuat, anakku," seolah mama berbisik, membangunkan jiwa yang lelah dalam diri Jeane. Wanita hebat itu, meski dihimpit kesulitan, selalu mampu menahan derita demi anak-anaknya.

Hidup tanpa kehadiran ayah memang menyakitkan, tetapi Jeane tak pernah patah semangat. Jiwanya bergelora, berusaha meraih mimpi yang telah lama digantungkan di bukit pengharapan. Mimpi yang terkadang buram, sulit dijangkau, namun doa mama senantiasa mengingatkannya bahwa setiap langkahnya berarti.

Dalam setiap jeritan dan tangisan, Jeane menemukan kekuatan. Seperti badai yang mereda, ia belajar untuk terus melangkah, meski dunia ini tak adil. Dan di balik semua kesedihan itu, tersimpan sebuah harapan—sebuah cahaya yang menuntunnya menembus gelap, menuju impian yang kelak akan membawanya bertemu kembali dengan kenangan, dengan ayah yang selalu hidup dalam hati.

***

Malam sebelum pertemuan orang tua murid, ia mempersiapkan segalanya dengan penuh harap. Meski tubuhnya letih, pikiran tentang anaknya tak pernah surut. "Aku akan hadir," gumamnya, walau tahu waktu dan tenaga terkuras habis.

Di balik kehadirannya, tersembunyi air mata yang tak terlihat—air mata kebahagiaan yang terpaksa ia sembunyikan, dan kesedihan karena harus terus berjuang sendirian. Namun, di setiap langkahnya, ia membawa harapan: bahwa anaknya akan mengerti, bahwa semua pengorbanan ini adalah untuk masa depan mereka.

Terimakasih mama, telah hadir di sekolah hari ini. Bisik Jeane kepada mamanya.

 

darvis_tarung

Kupang, 26 Oktober 2024

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa