Jatuh Cinta Dengan Milik Tuhan

 


Aku, yang tak pernah bersahabat dengan perjumpaan, kini terpaksa menghadapi denyut aneh di hatiku. Khatulistiwa rasa, tempat di mana senyumnya menghangatkan jiwa, meski dia hadir dalam misteri. Ini adalah sebuah pelayaran tanpa kompas, di antara kebencian dan kerinduan.

Ada rasa yang terjalin di antara dua hati, tak bisa kupungkiri. Meski pernah ada jejak kehilangan yang menggores luka, dia datang membawa seberkas harapan. Namun, benarkah semua laki-laki itu sama? Dengan senyum manis dan langkah ringan, ia melintas di hidupku, mengingatkan pada semua rasa yang pernah menyakitkan. Tapi tidak, dia bukan sekadar bayangan. Dia adalah misteri yang membangkitkan rindu mendalam, seakan Tuhan menaruhnya di sini untuk menyembuhkan segala duka.

Kisahku, yang terjalin dalam kehadirannya, terhampar dalam narasi waktu. Di antara riuh dan gemuruh, aku menemukan kenyamanan. Dalam percakapan yang ringan, aku ceria, seolah dunia milik kami berdua. Satu kebetulan indah: kami berdua merangkai kata, menciptakan keindahan dalam tulisan. Namun, apakah hanya itu? Apakah kita hanya sekadar mencipta puisi dari pertemuan singkat menjelang Paskah?


Pertanyaan itu menggema, membuatku terjerat dalam keraguan. Apakah ini cinta? Jika iya, mengapa hanya sejenak? Tragis, bukan? Aku berusaha menepis bayang-bayang kelam itu. Kepergian yang menyisakan kesakitan bukanlah hal yang ingin kuterima lagi. Namun, di hadapannya, segalanya terasa berbeda. Ia adalah jendela ke dalam jiwa, yang kuinginkan meski tak kuasa kumiliki.

Malam datang menyelimuti jiwa yang merasakan denyut hati yang gejolak, rembulan dan bintang menjadi saksi bisu dari kerinduan ini. Di depan gereja tua, di bawah sinar lembut, hati ini bergetar. Perhatiannya adalah warna-warni cahaya bintang yang membangkitkan semangat, membuatku terbang dalam Eden yang tak pernah kuimpikan. Aku berbisik pada diri sendiri, “Aku jatuh hati.” Tapi apakah aku berhak mengungkap rasa ini?

Ah, rasa, kenapa harus dia? 

Maafkan aku, Tuhan, jika hati ini mencintai milik-Mu. Engkau mengetahui segala yang terpendam, dan aku hanyalah manusia biasa yang rapuh. Izinkan aku mengagumi milikMu tanpa harus memilikinya, menghayati cinta yang tulus meski harus terpisah.

Di antara harapan dan kesedihan, aku berserah. Mungkin ini takdir yang indah meski singkat. Seperti embun yang berkilau di pagi hari, kau hadir dan pergi, meninggalkan jejak yang takkan pudar dalam kenangan. Dan di khatulistiwa rasa ini, aku belajar bahwa cinta tak selalu harus memiliki, tetapi cukup mengagumi keindahan yang tercipta.

Ahhhhh,,, rasa, kenapa harus dia?

Maaf Tuhan aku jatuh cinta dengan milikmu. Tuhan ijinkan aku mengaguminya walau tak harus memilikinya.


(Kisah ini diinspirasi dari kisah seorang Mahasiswi).

darvis_tarung

Kupang, 26 September 2024

 

Komentar

Anonim mengatakan…
Kau yang dulu bersamaku maaf kita tak berjodoh🀣

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa