Coretan Sang Hamba
Di tengah malam yang sepi, di bawah
langit yang berhiaskan bintang-bintang seperti permata tersebar, seorang pemuda
duduk dalam kesunyian. Tempatnya adalah ruang yang dikuasai oleh cahaya temaram
lampu minyak dan tumpukan buku harian yang telah lama menunggu untuk ditulisi.
Ia adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, dibesarkan dalam bayang-bayang
saudara-saudaranya, dan telah lama merasakan kehampaan yang melingkupi
hidupnya.
Sejak kecil, hidupnya adalah simfoni
yang dimainkan oleh tangan orang lain. Dia diarah, diatur, dan dinilai oleh
ekspektasi orang-orang di sekelilingnya. Keluarganya menetapkan jalan yang
harus dilaluinya, dan dia pun berjalan di jalur yang telah ditentukan, meski
hatinya merasa seperti terkurung dalam penjara yang tak tampak. Di luar sana,
hidupnya dipenuhi oleh aturan dan batasan, dan dia pun belajar untuk
mengabaikan bisikan batinnya sendiri.
Namun, saat dia menapaki usia dewasa,
sesuatu dalam dirinya berubah. Rasa penasaran membuncah dalam diri pemuda itu,
dan dia mulai bertanya pada dirinya sendiri, "Siapa aku sebenarnya? Apa
yang aku inginkan dari hidup ini?" Pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu
tidur malamnya dan membuatnya terjaga dalam keheningan yang mendalam.
Suatu malam, di tengah rasa lelah dan
kebingungan, ia memutuskan untuk berbicara dengan dirinya sendiri. Di hadapan
buku hariannya, dia mulai menuangkan pikirannya ke dalam tulisan. Setiap
goresan pena adalah sebuah pernyataan, sebuah pengakuan, dan sebuah perjalanan
menuju penemuan diri. Dia menulis tentang ketakutannya, keraguannya, dan juga
kerinduannya untuk menjadi dirinya yang sejati.
Di antara halaman-halaman buku harian
itu, dia menyuarakan rasa takut yang selalu menghantuinya. Dia menulis tentang
bagaimana dia sering merasa tidak cukup baik, bagaimana dia selalu merasa
terasing di tengah keramaian, dan bagaimana dia tak pernah berani untuk memulai
sesuatu yang baru. Dia menuliskan tentang segala kegagalan dan kekecewaan yang
telah menghantuinya, tentang betapa sulitnya untuk menapaki langkah pertama
menuju kebebasan sejatinya.
Setiap malam, dia berhadapan dengan
emosinya, tangisnya, dan keraguannya. Dia menggenggam pena dengan erat, menulis
dengan penuh kesadaran bahwa proses ini adalah perjalanan menuju diri yang
sejati. Meski sering kali dia merasa putus asa dan ingin menyerah, dia terus
melanjutkan, yakin bahwa setiap kata yang ditulis adalah langkah kecil menuju
pembebasan diri.
Waktu berlalu, dan dengan kesabaran dan
ketekunan yang tak tergoyahkan, dia mulai merasa perubahan. Perlahan-lahan, dia
belajar untuk mencintai dirinya sendiri, untuk memaafkan kekurangan dan
kesalahan yang pernah dibuatnya. Dia menyadari bahwa hanya dengan mencintai
diri sendiri, dia dapat memutuskan jalannya sendiri, mengambil keputusan dengan
penuh keyakinan, dan akhirnya menjadi penguasa atas hidupnya.
Dengan berani, dia melangkah ke dunia
luar dengan rasa percaya diri yang baru ditemukan. Dia tahu bahwa hidupnya
bukanlah sebuah film yang ditentukan oleh orang lain, melainkan sebuah karya
seni yang dia ciptakan sendiri. Dia berani mengambil risiko, mengejar impian,
dan menulis kisah hidupnya dengan tinta keberanian dan keyakinan.
Di akhir setiap malam, saat pena
berhenti menari di atas kertas, dia melihat kembali tulisan-tulisannya dengan
rasa bangga. Dia telah mengukir perjalanan panjang dari ketidakpastian menuju
penemuan diri. Dia mengerti bahwa cinta pada diri sendiri bukan hanya tentang
menerima apa adanya, tetapi tentang berani membentuk dan menentukan arah hidup.
Dan ketika dia menatap bintang-bintang
di malam hari, dia mengingat pesan yang dia tulis berkali-kali dalam buku
hariannya: "Cintailah dirimu, karena kamu adalah pembentuk hidupmu."
Dengan keyakinan dan cinta pada dirinya sendiri, dia siap menghadapi dunia
dengan segala tantangannya dan menjalani hidup yang sepenuhnya miliknya.
Catatan Sang Hamba
Jakarta. 4 September 2024
Komentar