Surat (suci) Lee-wuun

Tak terdengar suara jangkrik diujung waktu. Sunyi senyap mendiami jiwa para penanti malaikat. Kini tepatnya7 September 96, suara tangisan bayi munggil terdengar di semesta. Sorak riang para penanti, disiap lampin membalut tubuh. Ia cantik bak putri raja, nan munggil. Sunyi itu terbongkar suara riak anak manusia yang menjelajahi semesta.

Semesta sambut gembira, menggema di seluruh angkasa tanah Timor. Bukan kebetulan, namun kepastian adalah bahagia menyambutnya.
Dibalik tirai yang hampir kusam itu, wajah sang bunda tersenyum lega menghilang perih. Disamping Bunda, tampak wajah ayah membalut senyum lagi haru. “ia cantik seperti bundanya”, kata ayah coba mengoda sang bunda. Dibalik tirai itu kebahagiaan tak terukur dan tak terselami oleh kata bahasa apapun. Ia sang malaikat yang belum tahu dan mengerti sebuah kehadiran, hanya sajak-sajak bunyi yang tak dapat di mengerti oleh semesta. Eaeaeaeaeaeaeaeaeaea……suara itu membubung dikala ia lapar.

****
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 7 September tahun silam itu muncul dalam tanda-tanda waktu, 7 September 24. Sekian cerita dipoles dalam waktu dan ruang, menenun kata “aku sang anak, aku sang remaja, aku sang gadis, aku sang dewasa, da aku sang (mempelai) milik yang Suci”.
Ia begitu bahagia dengan setiap potretan lukisan tentang kehidupan. Kini, sajak-sajak bunyi itu menjadi berarti dan membentuk sajak-sajak kata, ia sang (mempelai). Ceritanya bersama waktu membuat ia semakin matang. Ia telah bahagia bersama waktu itu sendiri. Ini sebuah pilihan yang tak mudah baginya dan belajar untuk mengikuti tapak-tapak yang lain ini.
***
Meninggalkan waktu lalu adalah keputusan yang pasti yang harus ia ambil. Ia pernah menemukan kebahagiaan bersamanya (calon mempelai) waktu itu. Ia telah mengisi teka-teki dan bahasa cinta yang membalut dengan rasa yang mendalam. kebahagiaan itu nyata, namun harus ditinggalkan untuk sebuah panggilan. Kini waktu telah memudar segalanya, memulai yang baru; aku mempelai sang suci. 

***
28 tahun adalah cerita sang mempelai itu. Deretan kata dan rasa telah dikisahkan dalam buku suci hariannya. Kini waktu ini, sebuah lembaran mengingat sekian polesan kisah waktu yang lalu, dan memasang detak-detik waktu mengawali yang baru. Namun, diiputi kegentaran batin yang gebu dan liput tanya; who am I? kilasan waktu serasa membongkar kegelisahan dan seraya sujud syukur kepada empunya hidup. Kini ia (sang mempelai) yang telah lama bergulat denga waktu dan akhirnya bersyukur juga. Bukan keterpaksaan, namun seadanya adalah bersyukur.
****
Aku menemukan surat yang hampir kusam, diletakan di dalam brevir harian. Aku tidak tahu dari mana surat itu datang. Penasaran meliputi raga yang hendak bersujud. Akhirnya aku dengan penuh kehatian membuka surat yang kusam itu. Aku kaget dalamnya terdapat sajak-sajak dan syair-syair syukur kepada sang bunda dan sang ayah. Nada yang sama diungkapkannya dalam kenang di 28 tahun yang lalu.

Bintang itu tak melebihi cahaya wajah sang bunda
Dan terik surya tak sebanding kuatnya sang ayah.
Tak ada kata lagi kalimat
Yang membentuk rangkaian puitis tentang hari ini.
Hanya sajak-sajak doa syukur
Mengenang cinta dan sayangmu.
Kini anakmu berdiri dengan tidak tatih
Atau dipapang tangan lembut bunda.
Kini anakmu berjalan
Tanpa harus tangan ayah menopang.
Namun aku sadar,
Aku tak dapat berdiri dan jalan sendiri
Tanpa untaian doa bunda dan ayah.
Aku masih sangat lemah,
Aku masih sangat kecil.
Dua puluh delapan tahun ini
Aku mengharapkan yang terbaik untukmu berdua,
Tawa dan canda manismu biarlah menemani langkahku.
Ayah, bunda terima kasih untukmu.

Itu surat (suci) Lee-Wuun, tentang cinta yang tak pernah pudar dari sang ayah dan bunda. Tentang usia yang matang dan dewasa, usia sang mempelai (milik) Sang Suci dan usia yang tetap berharap. Kini langkah Lee-Wuun penuh kebahagiaan. Menikmati hari ini dengan bahagia lagi syukur.
 
Kupang, 7 September 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa