Kepergian Itu Tak Harus Diratapi

 


Dalam bayang gelap itu, ketakutan memenjarakan jiwa. Raga dan jiwa bergulat dengan kata perintah “saatnya berakhir”. Tak ada alasan bagiku untuk lebih lama lagi. Ini bukan sebuah perusahaan yang harus memperpanjang kotrak kerja. Ini takdir. Ini nyata.

Aku seorang yang sedang kelana mencari sang cinta. Di pojok ini aku membaca sekilas cerita gambaran cinta yang membahagiakan itu. ”Enu dan eudaimonia” sekilas mengenang kisah tentang kebahagiaan sejati. Aku sang penjelajah hati, bersuah dengan jiwa-jiwa yang terbelengguh oleh puitisnya sang senja yang pergi. Jiwa membayang aroma tubuhnya yang sempat aku rasa kalah duduk  bersama.

Jabat tangan yang aku anggap biasa itu, melepas kata dalam bahasa penantian. Ia telah mengukir waktu, dalam polesan senyum, dan kini kata “nuk” menjadi alasan tuk kata-kata yang dirangkai indah. Imus dan canda membongkar kata nuk menjadi momang, jauh dalam dengkapan, kini diselimut dalam kata “you only one” yang tak terjemahkan oleh kata momang itu. Namun, momang itu pergi dan tak akan ada pernah kabar kembali. Hanya raga yang kaku, terdengar  suara tanpa nada, dan hanya syair-syair ratapan.  Momang telah pergi.

Kenapa harus ada ratapan? Kenapa harus secepat ini? Tanyaku menolak rasa dan kenyataan. Kepergiannya meninggalkan luka. Pergi untuk selamanya dan tak ada jumpa lagi. Tubuh yang dulu kekar tempat raga ini bersandar, kini kaku dalam peti yang diam siap menghantarnya ke lahat. Suara nyaring membongkar rasa menyanyikan ratapan kepergiannya. Inikah kepergian? Kepergian itu kehilangan.

Ahhhhh. kepergian itu menakutkan. Yah…pergi untuk selamanya. Inilah  kepergian yang berarti kematian.

Tidak! jawab Stoisisme. Kematian bukan sesuatu yang menakutkan karena kematian itu bagian dari alam. Kematian itu bahkan seharusnya bisa membahagiakan.

Apa? Kamu gila? Tanyaku mendebat.

Segala ketakutan manusia akan kematian bukanlah karena kematian itu sendiri, tetapi atas anggapan (value judgment) dan gambaran manusia mengenai kematian. Jika gambaran manusia mengenai kematian adalah sesuatu yang menakutkan, maka reaksi manusia menjadi negatif, dan ingin menghindarinya. Sebaliknya, jika gambaran manusia akan kematian bukanlah sesuatu yang menyeramkan, manusia pun akan lebih tenang menghadapinya. Kematian itu hendaknya membahagiakan.

Kita meratapi dia yang pergi, suatu saat orang lain meratapi kita. Orang yang mengingat kita sesudah kita mati akan mati juga. Hidup ini bukan soal kita harus umur panjang, namun soal bagaimana kita menikmati hidup itu dengan kualitas-kualitas. Kita mungkin menyanyikan lagu panjang umur saat ulang tahun, namun yang terpenting adalah banyaknya kualitas hidup. Kepergian itu soal waktu saja.

Apakah tidak harus meratapi dia yang pergi?

Engkau meratapinya karena ada kenangan indah bersamanya. Kata Nuk telah menjadi momang dan menjadi alasan pasti untuk itu. apakah itu salah? TIDAK. Uraian ratapanmu menghantarmu untuk membongkar kata-kata momang itu. Namun ingatlah janganlah kwatir tentang kematian.

Seneca pernah berkata “Hidup ini panjang jika kita tahu bagaimana menggunakannya... kita tidak diberikan hidup yang pendek, tetapi kitalah yang menjadikannya pendek...dan terbuang untuk hal-hal sia-sia."

Rayakanlah hidup itu dengan kualitas hidupmu…

 

Nuk=ingat, Momang=sayang,cinta. Imus=senyum

 

-darvis_tarung-

Kupang, 21 Juni 24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa