Nyaman dipelukanNya bukan pelukannya.


Telah jauh aku menyusuri jalan ini. Cadas dan terik menembus dinding jiwa yang berharap. Berapa jauh dan seberapa dalam tak kuhitung. Dalam benakku nostalgia tentangmu tergesit rapi. Kini antara senja dan jiwa gelisah, menuntut tanya. Aku dalam buram bayangmu, menemukan jawaban pasti. Namun tidak.

Hempasan ombak menerjang karang, badai menghantam layar kapal jelajah dalam samudra yang luas, kini ku bertanya; dimanakah jiwa akan berlabuh?

Tentangmu, teringat akan nostalgia. Sebuah kertas putih dimana jarimu pernah menari diatasnya. “Dengan rasa” katamu waktu itu, engkau mencairkan hati penantianmu. Dalam bahasa penantian itu, jiwamu melayang menuntut kepastian, nana aku momang ite. Sekian lama aku memendam kata-katamu dalam kertas putih yang kini kecoklatan itu. Usang. Yah. Itulah sebuah konsekwensi menyimpan lama kenangan.

Semenjak enu menentukan pilihan, hanya selembar senyum yang tak terbahasakan dalam kata. Diammu dan senyummu mewakili kata, Nana saya akan pergi. Dalam kegelisahan dan keterpakasaan nana hanya mampu melepaskan. Aku bertanding sekian tanya. Mengapa? Kenapa? Inikah sebuah akhir yang menciptakan kata-kata KEHILANGAN?

***

Jubah putihmu menawan. Namun pernah melepaskan luka. Tentangmu yang kini berjubah, yang telah bahagia, telah menempuh jejak baru. Lupakah akan jiwa yang pernah enu tinggal? Jubah putihmu, membawa berkat. Menghapus luka yang sempat membekas. Katamu, Nana, enu selalu mencintaimu, biarlah momang itu larut dalam doa. Enu selalu mendoakan nana.

Aku tak habis pikir. Sekian lama jiwa pernah terbang menuju Eden kebahagiaan. Di sana polesan kata-kata dari Enu tenun kenyamanan. Jiwa yang tak terbakar. Jiwa yang tak rapuh. Jiwa yang tak gelisah. Apalagi jiwa yang bertanya. Namun nostalgia membubung ke angkasa. Tempat agan-agan kita pernah lari dan memeluk. Kata kunci luapan rasa dari enu; you are my life.

Kini enu telah berjubah. Kerudung putih tanda enu sang mempelai dan milik Sang Suci. Enu bahagia. Terang jubah enu bak malaikat yang melayani para jiwa. Tugas enu mulia, membawa rahmat dan selamat. Aku kini dan disini sudah lepas pada nostalgia. Menenun kata syukur karena enu terpanggil. Jejak kita yang penah hias dalam rasa, kini hilang dan pergi. Nana yakin, dengan doa kisah-kasih itu tidak harus dikenang. Kini, nana bahagia bersama dia yang ini. Enu bahagia bersama DIA. Doaku mengiring jalanmu, doaku mendukung semangatmu. Biarlah enu bertahan dan nyaman dipelukanNYA. Bukan nyaman dipelukannya. You stand till the end dalam panggilanmu, untukmu enu.

Cerita ini terinspirasi dari beberapa orang yang memberi komentar atas cerpen yang pernah saya buat dengan judul “Doa Sang Mantan”. Dari komentar itu, masing-masing mereka mempunyai pengalaman pernah meninggalkan seseorang yang mereka cintai. Namun sekarang mereka sudah bahagia dengan panggilan hidup mereka masing-masing.

-darvis_tarung-

Kupang, 10 Mei 2024.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa