Nama Gadis itu…

 

Nama Gadis itu…

Semesta yang berbeda. Kicauan merpati memberi sorak pada semesta. Kodok-kodok dengan paduan suara memecahkan kesunyian semesta. Di sudut lereng bukit itu terpancar keelokan semesta yang masih perawan. Tanpa polusi. Tanpa lalulintas. Tanpa riuh bel bandara atau pelabuhan atau terminal atau pasar. Tanpa aroma limbah. Tanpa kebisingan. Serba kesunyian yang melahirkan kepolosan jiwa. Disana ada kepenuhan dahaga, yang selalu rindu dunia kesunyian. Disana hanya ada jiwa yang selalu mengagumi semesta.

Di semesta itu, ada jiwa yang bernama sang gadis. Sosok gadis itu memesonakan mata Para Adam. Anggun. Polos. Seadanya. Dan tak berbisa. Pada jamannya, sang gadis kadang tak diperhitungan pendapatnya. Walaupun apa yang dikatakannya adalah benar. Namun gadis ini berbeda dengan gadis yang lain. Ia berlaku sopan atas ajaran sang ayah dan bundanya. Penuh perhatian, penuh kehati-hatian, dan sepenuh hati menjalankan tugasnya. Ia tak mencuri pandang kepada para Adam, walau parasnya pesona bak malaikat.

***

Suatu ketika seorang utusan dari Sang Suci menghampiri si gadis. Di ruang jumpa, ada dialog hati antara seorang utusan dan sang gadis. Raut wajah berubah seketika dari sang gadis. Entah apa yang mereka bicarakan, tak satupun yang tahu. Di ruang itu, yang menjadi saksi rasa jumpa adalah dinding-dinding kesunyian. Sebab disana hanya kesunyian tempat yang melahirkan kepolosan batin. Matanya memancarkan sinar kegelisahan sekaligus penuh tanya yang mendalam. Kebinggungan menghantui semesta sang gadis. Dalamnya, kepasrahan adalah jalan, menuju ketepatan janji yang paling aneh dan menimbulkan jejak tanya yang tak pernah titik. Kini hanya langkah yang siap, batin menjawab, entah apa kata orang sebab ia belum bersuami.

Gadis muda itu seolah-olah tak percaya pada perjumpaan itu. Hatinya menggema seolah menyimpan seribu tanda tanya; kenapa harus aku. Ini bukan kebetulan namun sebuah rencana dari Sang Suci, batinnya menggebu.

Ia rebah di sebuah pohon pinggir sumur itu. “aku ini masih muda” dialognya bersama sunyi. ia meneruskan kata dalam bahasa batin; “seandainya hal itu terjadi aku belum bersuami, mungkinkah?” Ia mempertanyakan sebuah pilihan atas perintah. “Engkau akan……”

***

Gadis itu membereskan tempayan tempat ia menyimpan air. Ia lekas pergi dari sumur itu sambil membawa tempayan-tempayannya. Ia seolah-olah tak habis pikir dengan peristiwa perjumpaan yang dialaminya. Gadis itu tak banyak bicara, ia diam dan menyimpan semua rasa dalam hatinya.

Ia tidak menolak. Ketika ia tahu ada sesuatu yang terjadi, ia diam tak cari popularitas. Daripadanya terbit kepolosan jiwa yang tak terselami. Ia hanya menunggu saat yang tepat, namun lebih dalam ia menyimpannya dalam hati.

***

Aku kagum padanya walaupun aku tak hidup sejamannya. Aku mengenalnya karena aku tahu jasanya. Ia memberi dirinya untuk sebuah perintah. Kini ia bahagia karena ia disebut yang Berbahagia. Nama gadis itu adalah Maria. Maria di pilih diantara Maria yang lain.


-darvis_tarung-

Perayaan Santa Perawan Maria Bunda Gereja

Kupang, 20 Mei 2024

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa