Mempelai Sang Suci

 

Tak pernah aku bayangkan ada di sini. Dalam anganku hanya memendam tanya; kemanakah aku akan pergi? Sekian tanya dalam sunyi mengusik keheningan di bukit biara. Menuntut jawaban yang kadang tak pasti, membuat aku harus larut dalam penantian. Aku sadar, tahu dan mau akan jalan ini. Memang agak beda, namun pasti menuju Firdaus bahagia. Aku tahu identitasku. Aku tahu pilihanku. Aku tahu konsekwensi dibalik janji itu. Murni, taat dan miskin adalah bagian yang tak terlepaskan dari janji itu. Itulah, yang selalu aku pegang dalam hidupku. Tergiang dalam benakku; “Tidak ada tempat untuk meletakkan kepala”. Ahhhh. Inilah konsekwensi. Kemana? Aku tidak tahu.

Tahun 2020 yang lalu, penantianku yang panjang kini terjawab. Bahasa penantian yang diam tanpa kata itu, terungkap dalam selembar surat perutusan. Kini tugas baru aku terima. Namun yang pasti kata-kata utusan, yang diselimuti dengan spirit pengharapan dari sang pemimpin, meninggalkan bahasa sunyi dan di ungkap untuk menjawab YA dan SIAP.

Aku belum membuka isi surat itu, muncul pertanyaan kecil dalam hati; kemanakah aku akan pergi? Pertanyaan yang sekadar menghibur diri sebab aku tahu tak seharusnya bertanya demikian. Ketaatan menetap dalam hati dan pikiran. Tidak ada alasan untuk menolak, entah ditempatkan di mana saja.

***

Aku mendarat dari udara, dalam perasaan penuh tanya. Aku jumpai senyuman menyambut kebahagian. Sapaan pengantar yang aku dengar; Irasshaimase, yang membuat aku semakin binggung. Itulah hari pertamaku.

Hari demi hari aku jalani. Bahasa baru tanpa kosa kata yang di mengerti. Huruf tanpa abjad a,b,c,d. Hanya pampang tulisan yang tak memberi arti. Segalanya baru. Aku tenang tak nampak penolakan. Hari-hari ku jalani dengan mesra. Tinggal dag-dig-dug mencari kata bila orang menyapa. Namun yang sedang bersemi merebut jiwa adalah kekaguman pada semesta. Alangakah bedanya semesta ini. Aku sadar ada sesuatu yang aku jumpai disini. Tanpa usik, tanpa kodok yang kicau di malam sorak biasa menghibur desa. Tanpa lalu lalang Kunang-Kunang hias malam buatan manusia. Tanpa musik pesta yang gema mengangkasa. Yang ada hanya keheningan, Selimut badan yang selalu melekat, dan sarung tangan yang tak terlepaskan. Selang musim berlalu, sakura-sakura mulai mempertontonkan keelokannya. Memanjakan mata hingga akhirnya bersemi dalam jiwa yang remuk; Ahhh aku di negeri Sakura. Yahhh sekarang aku di sini. Di tempat yang tertulis rapi dalam surat itu.

***

Aku di minta oleh pemimpin untuk membantu mengajar di sebuah sekolah PAUD. Aku kaget. Aku baru tiba dengan segala keterbatasanku. Aku tak pandai mengajar. Aku kewalahan dalam bahasa. Aku kewalahan memahami tulisan. Tapi….ahhhhh,…Bisakah????? Cetusku menjawab keraguan.

Itu bukan alasan, kata pemimpinku. Berusahalah dan berusahalah. Kata-kata itu menusuk sanubariku untuk bertanding dengan kenyataan.

***

Suatu malam, aku berjumpa dengan Kunang-Kunang. Cahayanya membongkar kegelapan rasa; aku tak sanggup bertahan di sini. Ingin untuk kembali, namun aku terikat oleh cincin cinta tanda janji. Aku telah tukar cincin dengan Sang Mempelai Suci. Tak ada alasan bagiku untuk ingkar dan pergi.

Aku mulai menenun kata-kata tentang sunyi dan rasa. Aku ditemani Kunang-Kunang dalam kegelapan yang selalu bertanya; masihkah aku harus bertahan? Cahayanya menembus dinding hati, memancarkan keaslian cinta yang aku ikrarkan dengan Sang Suci. Aku mulai mengores bunyi sunyi itu dalam bait kertas kecil. Aku mendalami semua jejak dan langkah awal; ada disini dan seperti ini. Dalam sunyi itu, Kunang-Kunang ada disampingku dan cahayanya mengikuti gerak pena yang sedang menari di atas kertas kecil itu. Sekian lama aku berdialog hati dengan Sang Suci, ada ketenangan batin yang aku temukan. Disana nasihat Sang Suci menusuk nurani.

Aku melepaskan momen itu sambil menunjuk senyum pada Kunang-Kunang sahabatku. Hampir setiap malam ia mampir dalam nyata dan mimpi ku. Kunang-Kunang itu menghibur jiwaku yang sedang bergulat dengan tanya; masihkah aku disini?

Tak terasa empat tahun menenun kisah, akhirnya aku nyaman di negeri Sakura. Aku bersyukur dan aku selalu bersyukur. Kenangan ini mengembalikan rasa yang pernah ada; bertanya apakah bertahan, namun sekarang bersyukur meliputi semesta tempat jiwa beristirahat. Kunang-Kunang malam menuntunku menuju Sang Suci, mempelaiku.

Kunang-Kunang itu berkata dalam diamnya, Kamu milik Sang Mempelai Suci.

(Narasi ini terinspirasi dari kisah seorang yang berkarya di Negeri Sakura-Jepang. memaknai setiap perutusan menggali semangat baru dalam hidup. apapun yang dihadapi selalulah ingat; AKU INI MILIK KRISTUS. untukmu semua yang sedang menjalankan misi semoga semakin setia dalam panggilan, dan tetap enjoy dalam tugas masing-masing di mana pun berada).

-darvis_tarung-

Kupang, 16 Mey 2024.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa