Suster Jatuh Cinta
Aku telah lama berkisah dengan waktu. Banyak cerita yang telah kulalui bersamaan usiaku semakin ke sini. Kini cita-citaku dulu tergiang baik dalam ingatanku telah hilang dan sirna. Bukan tanpa alasan, bukan tanpa sebab. Semuanya berawal ketika seorang gadis berkerudung mengunjungi stasi kami. Perkenalan tanpa basa-basi, aku terpesona dengan gaya dan jubahnya yang panjang itu. Aku dalam diam dan tertarik.
******
“Apa cita-cita kalian semua anak-anak? Tanya guru wali kelasku. Aku mau jadi tentara, jawab Beny. Aku mau jadi presiden, jawab Jhon. Aku mau jadi pilot, jawab Jen. Aku mau jadi guru, jawab Maria. Aku mau jadi Polwan jawab Nadia. Aku mau jadi perawat, jawab Asri”. Demikian jawaban dari teman-teman kelasku waktu itu.
“Alia? Kamu belum mejawab pertanyaan ibu”. Sorot ibu Yovi kepadaku. Aku binggung harus memilih atau mencita-citakan apa. Semua teman-temanku menaruh mimpi setinggi-tingginya karena memang orang tua mereka cukup berada. Sementara aku? Bisakah aku menjadi dokter dengan keadaan orang tuaku yang begitu-begitu saja?
“Menjadi dokter ibu guru”, jawabku singkat. Ibu guru meminta kami untuk memberi tepuk tangan karena kami telah mengungkapkan cita-cita masing-masing. Yah… aku mau jadi dokter batinku.
Sekian jalan aku lalui. Banyak cerita dan kenangan bersama mama dan papa juga dengan adik-adikku di rumah. Harmonis penuh cinta. Jiwa damai dan tenang tanpa selisih pendapat yang membongkar cinta. Aku harus jadi dokter, kata batin yang terus mengema.
Beberapa tahun telah berlalu begitu cepat. Aku sudah di ambang pintu menamatkan diriku dari sekolah menegah atas. Aku masih binggung kemana harus aku melangkah ke jenjang selanjutnya. Sekian kegelisahan yang aku alami, mama menepuk bahuku pelan. “Mama dan papa akan setuju bila kamu sekolah dokter”. Sahut mama sembari senyum.
Apa? Kataku kaget dan tak percaya.
“Mama dan papa sudah mendengar cita-citamu. Mama dan papa sanggup membiayaimu untuk menjadi dokter asal saja kamu serius. Ibu Yovi pernah cerita cita-citamu kepada papa dan mama 10 tahun silam”. Ungkap mama mengingat cerita ibu Yovi, wali kelasku waktu.
Aku dalam raga harus memilih. Sejujurnya aku telah dilema dalam dua pilihan; menjadi dokter atau berkerudung dan berjubah. Aku ceritakan situasiku pada mama. Mama justru memberiku kebebasan. Mama dan papa tidak memaksa, asal saja aku tangggungjawab dengan pilihanku. Jujur saja aku tidak semangat seperti dulu ketika menyebut cita-citaku menjadi dokter. Sebaliknya dengan kerudung itu aku semakin gebiar.
*********
Kini sekian tahun aku dalam biara. Aku telah melepaskan sekian banyak hal di belakangku. Keluarga, harta, dan bahkan dia yang pernah melukis kisah bersamaku waktu SMA. Aku berani meninggalkan rasa cinta kepada mereka hanya untuk mengejar cinta sejati. Aku pernah jatuh cinta dengan seseorang namun harus kutinggalkan. Aku pernah bersamanya di pinggir pantai cinta, namun cepat berlalu oleh ombak yang menghapus rasa itu. Puisi yang puitis yang pernah dirangkainya, aku simpan dan membayang betapa dasyatnya jatuh cinta. Semuanya itu telah kutinggalkan semenjak aku mengawali langkahku dalam biara. Biar dia pergi demi masa depanku sekarang ini. Salahkah aku yang pernah ada dalam rasa ini? Atau dosakah aku yang pernah memberi harapan palsu pada dia yang yang pernah mengharap? TIDAK. Itulah jiwa laluku.
Ah…sekian lama aku lupa dari rasa. Namun kini muncul lagi. Aku terpaut dengan insan yang selalu aku jumpai setiap hari. Hati ibah, hati luluh, hati tak tenang. Inikah jatuh cinta yang kedua kalinya? Insan-insan itu datang tak beralaskan sandal, tak berpakaian rapi, bahkan dengan raga yang meminta pertolongan. Aku jatuh dan luluh. Aku tak sanggup menatap sebab aku tahu aku sedang jatuh cinta.
Mereka datang dengan berharap. Jiwa merontah harapan akan selamat. Mereka terlantar tak diperhati. Entah kenapa dunia harus menyingkir mereka. Mereka ditelan rasa tak bersalah. Aku sadar, aku seorang misionaris yang harus membantu. Inilah tugasku melayani mereka. Mereka yang papa, mereka yang terasing, mereka yang terlantar.
Hatiku tergerak dalam kasihan. Seperti Yesus yang tergerak oleh belaskasihan, demikian juga yang aku rasakan. Sekarang aku sadar, aku sedang jatuh cinta bukan kepada seseorang namun banyak orang. Bukan kepada dia yang tampan, namun mereka yang tak berada. Raga mereka memanggil, aku harus segera kesana sebab banyak jiwa yang hendak diselamatkan.
Aku jatuh cinta. Bukan cinta eros yang penuh gairah dan hasrat. Bukan cinta philautia yang berdasarkan persahabatan yang mendalam. Bukan pula cinta mania yang obsesif dan tidak sehat. Namun inilah cinta AGAPE, cinta yang universal dan tanpa syarat. Sungguh aku jatuh cinta. Aku misionaris cinta yang harus membawa cinta dengan AGAPE kepada semua orang.
Darvis Tarung
Kupang, 22 Maret 2024
Komentar