Refleksi Mencari Pemimpin

 

Refleksi Mencari Pemimpin

Darvis Tarung, CMF

Pesta demokrasi (pemilu) merupakan sebuah pesta rakyat yang diadakan setiap lima tahun sekali. Pada momen ini rakyat memilih pemimpinnya dengan harapan penuh bahwa pemimpin yang dipilih dapat membawa suatu perubahan. Tibalah saatnya, pesta yang rakyat yang ditunggu-tunggu itu sudah di depan mata. Tinggal hitung hari pelaksanaan pemungutan suara, para calon sudah memperkuat bentengnya masing-masing. Kampanye yang telah dilakukan selama ini tentunya mempertajam  visi dan misi dari setiap calon. Bukan hanya elit politik yang sibuk memperkenalkan kandidat, masyarakat pun sudah memasang mata untuk membidik sosok yang mampu memimpin bangsa ini di tahun-tahun mendatang.

            Tahun 2024 ini merupakan kesempatan bagi bangsa ini untuk memilih pemimpin baru baik di kursi eksekutif atau di kursi legislatif. Tahun 2024 merupakan waktu yang ditunggu-tunggu sebab telah lama bersafari mencari dukungan. Tibalah saatnya menunggu hasil atas safari yang telah dibuat. Menunggu sambil memasang strategi; bagaimana di hari-hari tenang menjelang suara rakyat diputuskan. Oleh karenanya waktu-waktu ini adalah kesempatan untuk bukan lagi mencari citra diri, sebab sudah lama berteriak mencari suara. Saatnya menanti kepastian.

Lalu pemimpin seperti apa yang dibutuhkan dan diidam-idamkan oleh masyarakat sekarang ini? Tentu satu harapan besar masyarakat adalah sosok pemimpin yang bisa membawa suatu perubahan dalam memajukan bangsa dan Negara ini. Perubahan yang seperti apa? Sebagaimana yang dikutip dari buku A. Setya Wibowo  yang berjudul Paideia: Filsafat pendidikan-politik Platon, di dalamnya Platon menegaskan bahwa pemimpin sejati tidak mencari kepentingan sendiri, melainkan kepentingan-kepetingan orang yang ia perintah. Bahwasanya ialah pemimpin yang dicita-citakan oleh masyarakat ialah pemimpin yang tidak tinggal dalam thumos yaitu hasrat akan bangga diri dan kekuasaan. Dan ini menjadi bagian harapan besar masyarakat dalam mencita-citakan pemimpin yang dengan sepenuh hati memperhatikan mereka yang ia perintah.

Dilain hal disebutkan juga pemimpin sejati ialah pemimpin yang mampu mengambil jarak dari sikap epithumia dimana nafsu akan kekayaan dan nafsu-nafsu yang lain secara tak terbatas (nafsu yang berkonotasi negatif). Pemimpin yang baik pula pada dasarnya ia tidak akan dikendalikan oleh sikap kepentingan sepihak. Hal ini terungkap oleh Setya Wibowo dalam buku yang sama bahwa rezim epithumia adalah menyuarakan segala nafsu tak terbatas yang tak bisa dikendalikan. Rezim epithumia juga merupakan rezim yang tidak peduli pada upaya pencarian bonum commune (kebaikan bersama). Setya Wibowo melanjutkan bahwa prinsip dasar politik adalah adanya yang memerintah dan yang diperintah. Dan persis epithumia tidak diberlakukan.

            Apakah mereka yang mempunyai niat untuk menjadi calon pemimpin di negeri ini mampu berorentasi pada situasi ini? Menghindarkan diri dari thumos dan epithumia. Pengendalian diri yang penting juga  mulai mind set (pola pikir) seorang pemimpin.

Salah satu hal yang mungkin tidak dirasakan oleh sebagian orang bahwa seorang pemimpin yang baik juga tidak berlebihan dalam mengutarakan janji-janji dalam masa berkampanye. Kadang kalah janji yang disampaikan saat berkampanye selalu mengawang-awang tetapi realita setelah mendulang suara terbanyak tidak ada realisasi sedikit pun. Sangat disayangkan jika seorang calon pemimpin begitu “getol” dalam menyampaikan janji-janji politik.

            Paul Budi Kleden dalam bukunya Bukan Doping Politik mengatakan untuk meyakinkan para pemilih akan kejujuran sebagai bukti keluhuran akhlaknya sang politisi memilih untuk tidak menjanjikan apa-apa. Namun lebih lanjut Kleden menegaskan bahwa pada hakikatnya politik tanpa janji adalah politik yang buruk. Tidak hanya itu, politik tanpa janji sebenarnya tidak patut disebut sebagai politik. Lalu bagaimana menyikapi janji para calon pemimpin?

Kembali pada argument Paul Budi Kleden bahwa janji politik tidak terlepas dari kualitas demokrsai yang dimiliki dan pernah ditunjukkan sebuah janji itu. Jika orang tersebut telah membuktikan diri sebagai pribadi yang memang setia pada janjinya, maka janji politisnya patut dipercaya. Seorang yang suka dan gampang mengingkari janji tidak dapat dipercaya. Politik memang tidak pernah bebas dari janji. Dan para politisi selalu membuat janji entah diakui atau tidak.  Dan yang menjadi tanggung jawab warga adalah menilai janji tersebut.

Oleh karena itu tugas terbesar dari para calon pemimpin adalah memperhatikan sungguh-sungguh harapan dari masyarakat. Lebih lagi bahwa menjadi seorang pemimpin yang mengendepankan bonum commune. Menjadi pemimpin yang tidak berada dalam thumos dan epithumia. Perlu diingat calon pemimpin yang sejati tidak memberi janji yang mengawang demi mendulang suara terbanyak. Dan pekerjaan rumah bagi masyarakat (sebagai pemilih) adalah pilihlah mereka yang berkompeten dan  yang mampu membawa warna perubahan. Jangan cepat tergoda dengan janji manis politis. Suara kita menentukan jalannya bangsa ini ke depan. Saatnya kita memilih. Manfaatkanlah kesempatan  dua hari ini untuk merefleksikan, siapa calon pemimpin yang mau dipilih. Pilihan anda pada 14 Februari nanti adalah nasib bangsa ini kedepannya. Bidiklah sedalam mungkin, sebab sangat menentukan arah ziarah kita lima tahun mendatang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa