Rindu Dari Rambu

 

Desember hampir pamit dalam jejak-jejak langkah. Kisah yang dirajutnya pun dihias dalam dekorasi penantian. Tak seorang pun tahu bagaimana dan seperti apa setelahnya, namun yang pasti memori tuk mengingat tak pernah kusam bahkan lenyap. Aku seorang penjelajah penemu cinta, yang membuat aku larut dalam penantian. Aku seorang  pemburu senja yang hampir lenyap dalam dekapan pertiwi. Aku seorang pendiam yang senang menikmati sunyi. Dan dalam sunyi itu aku menemukan kata-kata sunyi yang menjadikannya bahasa penantian.

Sore itu, aku menjelajah sebuah kota yang riuh dengan sorak.  Aku hampir tak mampu  mendengar rintihan para pengharap yang sedang berserah. Sorak di kota itu melumpuhkan jejak-jejak kesunyian yang aku bungkus dalam balutan rindu. Aku pun harus lari mencari sunyi.

Ku lanjutkan langkah menuju sebuah rumah sunyi. Di sana aku  melepaskan segala bawaanku, dan aku mulai bersahabat dengan cerita, sunyi, penantian, harapan dan kisah. Di ujung sana dekat pintu rumah itu, tampak sosok tak dikenal, karena ia  sungguh menikmati sunyi. Aku diam dalam penasaran. Sengaja aku mendekatinya dan ingin kucari tahu siapakah dia.

Sebelum aku sampai padanya, suaranya menyambut kedatanganku. Sapaan sore memulai perjumpaan. Ia sudah mengenal aku -entah dari mana ia tahu. Sebaliknya aku tak mengenalnya siapa dirinya, dari mana asalnya, atau identitas lainnya. Tapi yang pasti aku tahu ia seorang Sopran. Perkenalan awal seolah-olah akrab pernah berjumpah. Yah dia seorang malaikat yang sedang mendarat di keheningan cerita.  Aku menyimpulkannya demikian. Ia memperkenalkan dirinya dan senyum penantian bersamanya.

Nama saya Rambu, katanya.

Ohh Rambu, nama yang bagus. Saya senang berjumpah denganmu, balasku.

Perkenalan mengawali perbincangan sore itu. Aku semakin mengenalnya dengan bahasa rindu yang dirangkainya. Sekian waktu aku mendengar kisahnya. Entah kenapa ia bicara dalam bahasa rindu. Bahasa rindu itu membuatnya berkisah tentang natal. Natal jauh dari Ama dan Inna, Na’a dan Alli. Perjumpaan berlanjut dengan berkisah, rindu ingin pulang. Perjumpaan yang ditemani air mata ingat Ama dan Inna, Na’a dan Alli, di tanah selatan pertiwi. Aku dalam diam memahami kisah dan cerita.

Bahasa rindu semakin dirangkainya dengan nada-nada penghibur. Instrumen ingat Walakiri yang terekam baik baginya pada natal yang lalu. Ia ingat pesona Bukit Tanarara, yang memacarkan keindahan saat piknik  usai natal. Itulah kebiasaanya bersama Ama dan Inna, menambah kenangan natal. Cerita hampir tak kunjung usai. Entah kenapa ia hening tanpa suara, tak melanjutkan nada-nada rindu natal bersama Ama dan Inna. Tak terasa waktu dicuri oleh bayang malam, yang memaksa pisah dari perjumpaan. Rambu menitip bahasa rindu;

“Rambu hanya bisa berkata dalam doa. Rambu titip salam  natal untuk Ama dan Inna, Na’a dan Alli di rumah”.

Keheningan dan air mata menghiasi perjumpaan. Lagu Di dusun yang kecil membuatnya, larut dalam rindu. Natal untuk pertama kali jauh dari

Ama dan Inna, setelah dua tahun harus berlangkah di tanah karang. Katanya, doa dari Inna menembus sunyi-sunyi rindu, dan  doa Ama menghapus air mata  di waktu rindu. Ia pergi meninggalkan senyum rindu.



Keterangan;

Ama dan Inna ; sapaan seorang anak untuk ayah dan ibu kandung

Na’a ; sapaan seorang perempuan terhadap kakak/adik laki-lakinya.

Alli ; berarti adik, adalah sapaan kepada laki-laki ataupun perempuan yang lebih muda.

Walakiri adalah salah satu pantai indah di Sumba Timur dengan ciri khas pantai di Sumba yang cenderung tenang, landai dengan hamparan pasir putihnya.

Bukit Tanarara ; Memiliki view berupa hamparan savana yang sangat menawan.

 

 

Darvis Tarung

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa