Perempuan Sumber Dosa?

 


    Kukenang waktu itu. Cahaya pagi belum menembus semesta seluruhnya. Adalah tugasku setiap pagi mengunjungi rumah tua yang hampir tidak banyak peminat untuk datang. Jika aku perhatikan, orang-orang berbondong pada hari Minggu namun pada hari lain tidak. Aku bertanya pada seorang bapak yang setia datang setiap pagi; Kemanakah yang lain?

“Wahhh mereka pada sibuk. Mereka pagi-pagi pergi kerja. Tidak ada waktu bagi mereka untuk mampir ke rumah ini”. Jujur Bapak itu.

Lalu bagaimana dengan Bapak? Balasku.

“Yahhhh, sebenarnya juga aku banyak pekerjaan dan harus buru-buru menyelesaikan tugasku. Tapi aku harus mampir dulu di rumah ini. Menjadi kebiasaan bagiku untuk tiap pagi datang walaupun penuh kesibukan. Saya harus menimbah semangat di tempat ini. Biarpun usang dan kelihatannya sudah tua tetapi kekuatan yang dasyat aku peroleh dari rumah ini. Pemiliknya
memberiku banyak hal. Terbukti usiaku sudah semakin menua tetapi tetap kuat, usia perkawinan kami sudah melewati pesta emas. Dan, banyak hal yang hendak aku ceritakan tentang rumah ini namun sepertinya aku harus keburu waktu”
. Bapak tua itu pergi sambil melempar senyum pada semesta.

****

Tak lama berselang, aku mendengar teriak dari hunian sebelah jalan. Bunyi dari dalam rumah semakin menjadi seolah-olah alam sedang beradu tanding. Ada apa? Tanyaku dalam kebingungan.

Seorang laki-laki membawa sepotong kayu entah untuk apa. Tak lama, Seorang Perempuan muda keluar dari rumah sambil menangis seolah-olah sedang beradu dengan pertiwi. Sepasang kekasih saling melawan kata-kata. Apa yang terjadi? Kembali aku bertanya.


Tetangga sekitar pernah berkisah, bila keluarga itu tidak pernah damai. Kadang sang lelaki bertindak kasar kepada pasangannya. Alasanya kenapa? Masih buram untuk dikenal.

Awalnya aku tidak ambil pusing. Aku diam dan biarkan suasana pagi membawa mereka entah kemana. Namun pagi ini seorang anak kecil lari mendatangi aku.

”Tolonglah mama, papa marah mama dan mau pukul”. Demikian polos anak kecil itu.

Aku cepat-cepat lari mendatangi rumah itu. Aku kaget dalam diam. Kaca rumah tak lagi indah di pandang. Piring, gelas, dan perabot lainnya seolah-olah baru mendarat dari angkasa berterbang. Seorang Perempuan muda tersujud tiada harapan. Merintih dalam sakit yang tak pernah diungkapkan kepada dunia. Lelaki itu pergi tanpa meninggalkan jejak hanya aroma sopi yang tertinggal.

“hidupku adalah neraka bagiku. Kenapa aku dilahirkan seperti ini? Kata-kata manis waktu itu tak lagi aku dengar. Kata-kata kasar seolah-olah mendekorasi rumah ini setelah hari bahagia itu. Salahkah aku memilih pendamping hidup? Dulunya dia baik. Namun, sekarang? Pulang kerja hanya sebotol sopi yang dibawah. Ketika minta uang untuk beli beras dan garam, yang dikasih malah kata-kata kasar dan bahkan galak seperti singa mencari mangsa. Keluarga ini tak pernah bahagia. Diberi masukan malah dibilang “kau Perempuan, tak punya hak mengatur laki-laki”. Anak-anak tak diperhatikan dan bahkan menyalahkanku jika anak-anak lapar, menangis, atau sakit. Aku harus seperti apa? Apakah ini kutukan? Semenjak malam pernikahan itu, aku pikir aku bahagia bersama dia. Aku akan baik-baik saja. Inikah yang dibilang tulang rusukku? Tuhan tidak adil bagiku. Atau mungkin karena dosaku? Segala yang terjadi di dalam rumah seolah-olah akulah pemicunya. Aku selalu menjadi alasan untuk bertengkar.  Kata-kata yang selalu aku dengar, "karena kamu, dasar perempuan sumber masalah! Benarkah Tuhan? Aku  yang salah? Atau  sebagai aku sumber dosa ini? Kapan kelurgaku pulih kembali?” Perempuan itu teriak meratapi hidupnya.

“Tuhan kuatkanlah aku. Jangan ijikan aku untuk putus asa. Aku tetap menghargai hidupku walau seburuk ini. Tuhan terjadilah padaku menurut kehendakMu. Aku yakin suatu saat dia akan bertobat. Biarkan damai itu terjadi Ya….Tuhan. Biarkan kata-kata manisnya waktu itu terucap Kembali dari mulutnya. Seburuk apapun keadaanku bersamanya aku tidak akan meninggalkannya. Janji suci yang telah kami bangun harus saya pertahankan, sebab aku harus bertahan dalam untung dan malang hidupku".

 Aku diam dan tidak tahu harus bagaimana. Perempuan itu memadah litani kesusahannya. Anak-anak terlantar tak diperhatikan. Dalam hening ku coba mohon kekuatan. Mencoba semampuku untuk membantunya. Tentu kata-kataku tak seberapa menyembuh luka hatinya, namun ada kebahagiaan di balik wajahnya. Walau bahagia dengan terpaksa karena keadaan, tapi paling tidak ia terdorong kuat menghadapi persoalannya. Bagiku ia Perempuan kuat, sabar dan setia. Aku pun merenung dalam sunyiku, Perempuan inikah sumber dosa bagi keluarga ini? TIDAK, balas batinku. Ia tidak berdosa. Ia adalah sumber kekuatan bagi perempun lain bagaimana menghadapi daruratnya kehidupan. Ia menjadi teladan untuk tetap berdiri dan kuat dalam setiap tantangan. Sesungguhnya segala keadaan sulit dapat diatasi jika berharap pada-Nya.


Darvis Tarung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa