Mencari Kepastian, Merelakan Kehilangan
By: Fr. Bernard My
Langit senja yang memerah memantulkan warna-warni indah di sekelilingnya.
Terlihat seperti ada yang berubah dari dalam diri Tio saat ia menatapnya. Setahun lalu, ia masih bisa melihat keindahan ini
bersama Talia, kekasihnya yang sekarang telah pergi
meninggalkannya. Mereka telah berpisah setelah Talia memutuskan untuk pindah ke
kota lain demi karirnya. Namun, perpisahan itu seakan tidak memberi kepastian
pada Talia. Tio tidak bisa menjamin untuk menunggunya dan memutuskan untuk
memulai kisah baru dengan hidup baru. Sementara Talia, meskipun sudah berusaha
mengikhlaskan kepergian Tio, masih belum bisa melepaskan perasaannya padanya.
Di tengah-tengah senja yang merah itu, Tio kembali memandang ke langit. Ia rasa
lega dalam hatinya, meskipun rasa rindunya masih begitu kuat. Ia tahu bahwa
kehidupan akan terus berjalan, dan ia harus melanjutkan hidup tanpa Talia.
Dengan merelakan, ia menemukan kekuatan untuk menatap masa depan yang lebih
baik, di mana kebahagiaan yang sejati menanti. Beberapa bulan berlalu sejak Tio
merelakan Talia, hari ini ia merayakan ulang tahunnya yang ke-23 sendirian di
rumah. Tanpa sengaja, ia membuka kotak kado lama yang berisi kenangan-kenangan
bersama Talia. Foto-foto, jurnal harian, dan barang-barang kecil lainnya yang
pernah mereka bagi bersama tergeletak di hadapannya.
Tio merasakan perasaannya kembali terombang-ambing. Rasa rindu, sakit hati,
dan keinginan untuk kembali ke masa lalu semuanya bercampur aduk dalam hatinya.
Namun, kali ini, ia lebih mampu menghadapi perasaannya dengan bijak. Ia tahu
bahwa ia tidak bisa kembali ke masa kelabu nan penuh kelembaban dan kedinginan,
tetapi ia bisa mengambil pelajaran dari pengalaman itu untuk hidup lebih baik
di masa depan.
Di antara kenangan itu, ada satu benda yang menarik perhatiannya. Sebuah sebuah surat
yang berisi perjanjian antara dia dan Talia. Setelah membaca surat itu, ia
terpaksa mengepak sayapnya untuk kembali ke masa lalu mengambil, merekam dan
melakoni sendiri kenangan itu dan akhirnya ia paham bahwa surat itu diberi oleh
Talia saat merayakan pertama kali mereka berjumpa. Namun, Waktu berlalu dengan
cepat, Tio telah menemukan kebahagiaan baru dalam hidupnya. Ia sudah membangun
karir yang sukses dan memiliki banyak teman yang menyayanginya. Walalupun
begitu di balik semua itu, ia masih merasakan kekosongan dalam hatinya.
Suatu hari, Tio kembali ke kampung halamannya untuk menghadiri acara
pernikahan teman lamanya. Di sana, ia bertemu dengan Talia, mantan kekasihnya
yang dulu pernah ia cintai dengan sepenuh hati. Talia terlihat berbeda, lebih
dewasa dan lebih memikirkan masa depannya. Tio merasa kebingungan, hatinya
berdebar kencang. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan atau bagaimana ia
harus merespons kehadiran Talia di hadapannya. Mereka bertemu di sebuah sudut
di taman yang indah, dan Tio mengajaknya duduk di sampingnya. "Maaf,
Talia. Aku tahu aku salah karena tidak menunggumu. Tapi, aku sudah berubah
sekarang. Aku ingin mencoba lagi denganmu. Aku ingin membangun masa depan
bersamamu," kata Tio dengan suara serius.
Talia terdiam air mukannya berubah seketika nampak pipinya menarik napas
dalam-dalam untuk memperoleh kekuatan dan menghembusnya perlahan-lahan kemudian
kekuatanya kembali normal. Ia dengan tenang menggengam erat tangan Tio dengan
menahan air matanya yang mulai memenuhi kelopak matannya dan berkata.”Tio, aku
telah memafkanmu sebelum kamu memintannya dan aku tahu bahwa kamu telah berubah
itulah kebanggan bagiku, namun tentang untuk membangun hubungan yang baru
denganmu, aku tak bisa karena aku telah rela mlepaskanmu”.
Talia milih jalan yang baginya telah dipersiapkan dengan baik-baik dan
pertimbangan yang matang sehinga dia merasa bebas dari belengu yang mengikatnya
selama ini. Sementara di sisi lain Tio merasa terpukul bahwa harapanya menuai kebuntuhan.
Memorinya masih menyimpan kenangan indah bersama Talia tetapi itu telah menjdai
duri yang perlahan mengikatnya. Tak heran bila dia merasa hari-harinya semakin
berat bagaikan tak ada kehidupan setelah mendengagar penolakan dari Talia.
“Aku tidak mungkin menjalani hidup yang tidak pasti yang diikat duri yang
ku ciptakan sendiri. Aku harus menetas lilitan ini walaupun sakit, terjatuh,
dan terhempas dalam kubangan luka. Tidak mudah namuna aku harus bisa biarkan
perpisahan ini menjadi perpisahan yang terinadah untukku dan untukmu, namun
maafkan kesalahanku”.
Tio merekakan kembali sayap-sayapnya
yang terkulai mengumpulkan satu-persatu, dia mulai latih mengepakkan sayapnya
dan terbang ke dunia kebahagiaan tanpa Talia. Dia menjajaki kehidupan penuh
kedamaian dimana taka ada lagi pikiran harapan atau duri-duri yang melilitnya.
“kebahagiaan terbesarku ketika taka ada pikiran untuk membahagiakan atau
mencemaskan seseorang saat fajar merekah sampai senjapun menelannya sehingga
aku bebas menikmati hariku dengan kedamaian yang lestari” kata Tio di puncak
kesusksesannya.
Komentar