Pemberian Ayahku Yang Berjubah

                  


sekian lama aku jalan tanpa arah. Pergi tak tahu kemana, untuk apa, dan kepada siapa. Kepiluan hati membekas dalam-dalam dan sangat dalam. Kehilangan adalah gambar pasti disudut kegelisahan. Aku sendiri. Sepi merajalela membayang di sudut rindu. Mereka pergi entah dimana sekarang. Yang kutahu, perpisahan ditandai sirene yang tersiar dipelosok negeri pertiwi. Mereka bukan siapa-siapa di negeri ini namun kepergian mereka diliput di berbagai media kabar. Kemana mereka dibawa aku tidak tahu. Menghampiri mereka adalah tak pasti. Aku dalam bayang-bayang takut.

“Anda berhenti disini. Tidak boleh mendekat”. Kata kepala pasukan dengan alat pelindung diri yang lengkap.

Air mata menemaniku diakhir sirene.  Aku Semakin liar teriak tuk mendekat dan kalau boleh kupeluk untuk terakhir kalinya. Sia-sia usahaku sebab aku dihadang. Sudahlah.

Kini setahun aku sendiri ditemani kehilangan. Harapan untuk ada bersama mereka yang kucintai telah ditelan sirene waktu itu. Air mata menjadi saksi bisu dalam tanyaku. Dosaku? Atau dosa mereka? Kenapa harus menimpaku? Tidak! Aku tidak setuju. Aku meratap sampai tak bersuara lagi. Haruskah aku yang menanggung? Mengapa? Tak ada jawaban menjadi kepastian.

Mereka yang bilang sahabat sejati tak pernah muncul dalam bayangku. Tak menghiburku. Tak pernah menemaniku. Sahabat sejati? Itu hanya omong kosong. Aku marah pada kenyataan.


Mereka dicegat masuk. Harus dengan alat pelindung diri. Masker. Dunia memberiku alasan. Aku diam dalam kesunyian. Taat adalah keharusan dan pasti. Langgar, liang lahat menanti dan kalau pun demikian tak dikawal oleh orang dekat seperti kisahku atas kepergian mereka. Papa dan mama kukenang, pergi tanpa jejak yang harus kutelusuri. Papa dan mama hanya sebutan, namun wajah tak lagi tersenyum. Direnggut oleh kejamnya dunia yang melumpuhkan.

Aku frustrasi. Stress. Kehilangan Kontrol. Anak-anak kompleks tak berani menghampiriku. Kata mereka aku kehilangan akal dan bukan lagi berbudi. Tertawa tanpa ada yang lucu. menangis tanpa sedih. Menari tanpa musik dan tak beralasan. Bicara sendiri. Compang camping bajuku tak terurus. Aku terlantar dan bahkan orang-orang menjauh dariku. Aku tak kenal lagi diriku. Dari mana dan hendak kemana aku akan pergi, tak tahu. Sungguh berbeda.

Tak terhitung berapa lama aku seperti ini semenjak kepergian mereka.

“Nak, mari sini”, seru seorang bapak yang tak ku kenal. Hanya dia yang berani mendekatiku. Ia memperhatikanku dan mengajakku pergi ke rumahnya. Ia menyuruhku mandi dan diberikannya baju baru. Ahhhhh aku? Tanyaku. Ia bersamaku dalam hari-hari hidupku. Ia terus memperhatikanku. Kini aku bersih dan pelan memahami duniaku. Ia menemaniku bernyanyi. Tertawa. Dan aku menemukan kembali kebahagiaan hidupku. Aku yang dulu tidak waras namun sekarang waras. Aku yang dulu tertawa sendiri namun sekarang baru aku sadar. Aku berbeda. Yahhhh aku beda.

Hari-hari hidupku bersama pria yang aku jumpai di simpang jalan. Aku memanggilnya ayah. Ia tak keberatan. Ia mengajariku hidup doa dan ia memberiku sebuah buku hitam yang tebal. “Bacalah ini, ini buku kehidupan”, suruhnya tegas. Hari-hari hidupku bergaul dengan buku itu.
Aku bergulat dengan ayat suci dari buku itu. Akupun semakin normal seperti sediakalah. Aku tahu siapa diriku. Aku tahu kenapa aku harus seperti ini. Aku terima keadaan dan kenyataanku. Akupun tegar dan kuat berkat pria yang kupanggil ayah itu dan juga buku kecil yang ia berikan padaku. Buku kecil ini ialah jalan yang kulalui untuk memahami hidupku. Buku ini ialah teman seperjalananku. Aku merenung dalam diam. Barang siapa yang berseru kepada nama Tuhan (Roma 10:13) akan dihibur (Mat 5:4). Dalam kesusahanku aku berseru kepada TUHAN dan Ia menjawab aku (Yunus 2:2) dan ketika jiwaku letih lesu di dalam aku, teringatlah aku akan TUHAN (Yunus 2:7) dan keselamatanku dari Tuhan (Yunus 2:9)

Kini aku mengerti sungguh-sungguh hidupku. Ayahku yang berjubah itu memintaku untuk merenung lebih dalam syair-syair suci itu. Dengan dampingannya aku menelusuri jalan-jalan menuju kebahagiaan suci itu. Kutemukan kebahagiaan dalam bait-bait suci buku pemberian ayah. Sekarang aku sudah berjubah seperti ayahku.

 

Darvis Tarung

Penikmat senja

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa