Boleh Mencintai Namun Tak Memiliki
Boleh Mencintai Namun Tak Memiliki
Darvis Tarung
Kurebahkan tubuhku diatas ranjang tua. Pikiranku terus melayang sesekali mendarat di negeri Thansan. Arti sebuah kerinduan menuntut untuk terus memikir. Dipojok ruang kecil ini seberkas memori lama terpampang rapi tentang kebersamaan. Yahhhh… dua tahun lalu telah mengukir kisah dalam sebuah potret di ujung bersama.
“Tio….Tio….bangun nak…sarapan ibu sudah siap” teriak ibu dari ruang makan.
Hujan fajar di Sabtu Desember memaksaku untuk tetap dibalik selimut. Tak ingin bangun adalah pilihan. Teriakan ibu tak kuhiraukan. Dingin di fajar itu membuatku terlarut dalam lamunan dan sekali lagi tentang si dia yang pernah mengukir kisah.
“Kringg…kringg..” bell datang dari pintu depan, pertanda ada tamu.
“Alfian… tolong bukain pintu depan…itu ada tamu” teriak ibu memanggil adikku. Akupun bangun dari kemalasanku dan beranjak mengintip dari cela jendela kamarku. Persis kamarku dekat pintu. Tubuh seksi, rambut panjang, celana panjang sosok yang kulihat dibalik intipku.Hujan pagi membuat kaca jendelaku dihinggapi embun hingga tak kelihatan pasti. Kabur. Tak kelihatan.
“Dik… ka Sationya ada?”
“Ia ka ada…ka satio ada didalam”. Jawab adikku Alfian.
Mari masuk dulu… kak. Tawar adikku.
Aku terus nguping dari balik tembok kamarku. Dengan segara aku mencuci muka. Seolah-olah tidak tahu apa-apa. Adikku datang memanggil.
“Kak ada cewe cantik yang datang” kata adikku nakal.
Segera aku meniggalkan kamar. Aku langsung menghampiri kamar tamu. Luar dugaanku tamu itu datang langsung memelukku. Dia adalah tamu yang sempat ada dalam dunia lainku pagi tadi. Dia menjadi medan rindu pagi ini. Deva. Gadis yang pernah dalam pelukanku sebelumnya. Pemotivator. Kasihku. Pujaanku di tempat putih –abu berlaku.
“Ka…saya ingat ka Satio” Ungkapnya.
Saya pun kaget bukan main. Belum aku membalas ungkapan gadis ini ia terus memelukku erat. Tak lama berselang aku mengajaknya untuk duduk.
Ka…ayah saya menyuruh saya untuk melanjutkan studi di Jerman. Sebenarnya…..
Terus???? Tanyaku memotong dengan wajah bahagia.
“Sebenarnya sangat sulit bagikku kak”…lanjutnya. Aku belum siap untuk keluar negeri. Jangankan ke Jerman kuliah dijogja pun sulit bagi ku.
“Tidak Deva. Ini adalah kesempatan emas bagimu. Ikuti permintaan ayahmu. Ini baik sayang…” balasku mendukung. Tentu ayahmu telah memikirkan yang terbaik bagimu.
Tapi kak…aku belum siap.
Cobalah sayangku…ini kesempatan yang bagus.
*****
Kopi manis di kendai Mas Agung menambah suasana hangat dinginnya malam. Aku tak banyak bicara soal kuliah dari Deva. Ia sendiri banyak berkisah dan ujung-ujungnya tak ingin ke Jerman. Entah apalahh. Aku hanya siap mendukungmu. Ungkapku dan tak bersuara. Tentu hanya sebatas dihati. Suasana malam ini sungguh dingin serasa hujan es turun di kota karang. Tak biasanya.
Kak…masih ingat dengan puisi ini? Ia menarik sebuah kertas kecil yang masih hangat dalam ingatanku bentuk kertas itu.
“Yahhh sayang… aku masih ingat” ungkapku mengaku. Tak lama ia membuka dan membacanya.
Gadisku
Fajar menghantarkan ku kepada mu….
Hingga senja membawaku rindu…
Disudut jendela berkaca
Rindu menghampiriku dan seolah-olah mengejekku.
Hampir tak ku tahan lagi untuk menghantam rindu.
Aku diam.
Seberkas sinar dari sela jendela itu.
Bayangana mungil anak darah yang terlintas dalam memoriku.
Sungguh aku tak, tak mengerti.
Ku ambil buku kecil yang kau beri di valentine tahun silam.
Sejenak ku berpikir…
Akan apa yang terjadi?
Mei mulai dekat.
Tiga ratus enam puluh lima hari di kali tiga kian selesai.
Terlintas sejenak dalam pikirku….
Sayonara…sayonara…..
Dan…..
Ia belum saja usai membaca puisi itu, Kepala Deva sandar di pundakku. Aku yang dari tadi berpikir ketika kenang lagi puisi yang dibacakannya. Kenangan malam minggu yang dingin membongkar kenangan lama sewaktu aku beri puisi itu padanya.
Kak…ini yang membuatkku tak bisa pergi ke Jerman. Suaranya sambil angkat wajahnya kepadaku.
*****
Tiga tahun tidak ada kabar semenjak Deva dan keluarganya pindah ke Jakarta. Sejak saat itu aku tidak lagi memikirkan tentang dunia percintaan. Kenangan di malam minggu tiga tahun yang lalu adalah kenangan terakhirku bersama Deva. Pelukkan terakhir. Ciuman terakhir. Entahlah apa yang terjadi lagi dengan Deva. Entah seperti apa hidupnya. . Deva tidak lagi mampir dalam mimpiku. Aku mulai bergelut dalam duniaku yang baru. Entah apa yang membawaku ke dunia yang baru ini. Ini sebuah jalan yang tidak pernah dalam mimpiku. Tapi semuanya jalan dengan begitu baik hingga akhirnya kujalani saja. Karena Tuhan berkenan memanggikku kesini. Yahhhh kujalani dengan enjoyyyyyy.
*****
Kulangkahkan kakiku dan masuk sebuah Gereja yang besar dan megah. Kulihat deretan kiri dan kanan semuanya dipenuhi oleh umat yang hadir. Aku pun berusaha menjelikan mataku untuk melihat sela-sela bangku yang kosong. Bola mataku berhenti pada bangku yang bernomor dua puluh enam dan persis di belakang suster yang berpakayan putih mengkilap. Aku pun beranjak kesana.
Setelah tiga menit diam dalam keheningan dan menyampaikan syukur, aku membetulkan posisi duduk. Ketika ku lihat suster yang ada didepankku menghadirkan seribu satu pertanyaan sekaligus penasaran. Tiba-tiba bayangan akan wajah Deva muncul lagi dalam ingataku. Aku tak tahu entah kenapa. Namun satu alasan yang pasti kerena suster itu. Aku menunggu sampai saatnya salam damai. Ini kesempatan ku untuk menjawab rasa penasaran ku.
“Damai Tuhan bersamamu” seru imam dari atas altar. Aku tak membalikkan badanku kekiri atau kekanan apalagi kebelakang. Aku takut kehilangan kesempatan untuk bersalaman dengan suster yang didepankku. Namun kesempatan ini justru berbalik dari apa yang aku harapkan. Salaman ala covid dan juga karena masker yang diwajibkan tidak juga menjawab penasaran ku. Misa telah usai.
*****
Satu per satu umat keluar dari gereja. Aku tetap duduk di bangku dengan harapan muzizat dari Tuhan agar bisa berkenalan dengan suster ini. Suster itu berangkat dari tempat duduknya. Tanpa ia sadari ada sesuatu yang jatuh dari sakunya saat ia mengambil sapu tangan. Ia pun terus jalan keluar. Dengan segera aku mengambil barang jatuh itu. Sebuah kertas yang lusuh dan kusam. Entah apa isinya aku tak berani membukanya yang penting ini kesempatan ku untuk bertemu dengannya.
Permisi susterrrrr….maaf suster ini ada sesuatu yang jatuh. Sambil kuberikan kertas putih yang kusam itu kepadanya. “Ooohh ya makasi kak..” sambil menurunkan maskernya.
Deva?? Ungkapku kaget. Aku langsung memeluknya tanpa mengiraukan orang disekitar. Ia sepertinya tidak mengenalku. Ia menolak pelukkan itu. Aku langsung membuka masker yang menutup wajaku.
Kak Satio??? Teriaknya mengenal dan langsung memelukku balik. Kak sudah lama tak bertemu.. ungkapnya.
Aku merasa terkejut karena ia tidak pernah menceritakan keinginannya untuk masuk suster. Disamping rasa kejut aku juga terharu sekian lama tahun baru berjumpa sejak malam minggu itu.
Aku dan dia sepakat untuk melanjutkan perjumpaan itu di warung tanta Yuni yang ku kenal di daerah karang. Disana kami berbagi cerita. Ia berkisah tentang dirinya mengapa ia mau masuk suster. Ia juga minta maaf kepada ku karena tidak pernah memberi kabar dan memberitahuku tentang niatnya.
*****
Perjumpaan pertama membuka perjumpaan selanjutnya. Banyak cerita dikisah-kasihkan. Masa lalu ikut terjungkit. Darah mengalir dengan sangat cepat. Denyut jantung berdebar-debar. Suatu hal aneh terjadi. Entah apa yang mesti tejadi. aku sadar aku kembali jatuh CINTA.
Sejenak aku berpikir. Aku tak pantas untuk kembali mencintainya. Aku tak tak mau menggangu panggilannya. Ia seorang suster. Ia milik Tuhan. Aku kenal diri. Namun malam tak pernah mengerti dengan situasi ku. Awal aku berjumpa denganya di gereja minggu lalu sulit bagiku untuk melupakanya. Deva…. Deva….. Deva……ngamukku diujung pekat.
*****
“Suster…aku mencintaimu!!!!!!!!!!!!!!!! Tapi aku tahu engkau bukan lagi milikku. Entah apa yang membuatku kembali pada kisah itu. Malam dingin mengajakku untuk mencari kehangatan melalui parasmu Deva… ehhh maaf..maksudku suster Deva. Aku tak dapat membohongi diriku sendiri.” jujurku di warung tanta Yuni tempat aku dan Deva berkisah.
“Kak Satio…. Aku juga paham dengan situasi ini. Jujur aku juga masih ada rasa untuk kaka. Tapi…”
“Ia Deva….aku tahu kata tapimu. Aku juga memikirkan dengan diriku. Aku juga telah memilih jalan seperti yang dijalani oleh suster saat ini…..”
Apa kak?? Tanyanya kaget. Aku binggung kak.. maksudnya??
Aku seorang frater. Aku telah memilih jalan ini. Maafkan aku karena tak pernah menyampaikan kepadamu. Semenjak engkau pergi waktu itu, aku digoda oleh Yesus untuk mengikuti-Nya. Aku jatuh cinta dengan Yesus…..dan aku juga mencintaimu Sr. Deva….
Kak fraterrrrrrrrr…sejak di biara namaku diganti menjadi Maria. Teman-teman memanggiku Sr Maria. Dan….
Oohh ia susterr Deva…ehhh maaf Susterr Maria maksudku…balikku tersipuh perasaan.
aku mencintaimu….suster…
Ia memegang tanganku dan dengan senyum manis di bawah kerudung putih ia bersuara ;
Kak fraterrrrrr…. Kita boleh mencintai namun tak boleh memiliki….
******
Komentar