Kekerasan dan Kecemasan

 Kekerasan dan Kecemasan

Darvis Tarung
Siswa Tamatan  SMAN 3 BORONG

Kejahatan adalah musuh terbesar manusia. Berbagai upaya pencegahan terus digerakkan. Pencegahan bukan untuk menghilangkan melainkan untuk meminimalisasi. Mustahil jika kejahatan itu lenyap seketika dan hilang selamanya. Kenyataannya bahwa kejahatan terus bergulat dengan manusia. Persis di situasi ini kejahatan terus melahirkan konsekwensi-konsekwensi baru. Tidak dapat menilik secara pasti kapan kejahatan ini akan lenyap. Jika dilihat situasi harian, kekerasan muncul setiap hari dengan variasi nama yang berbeda-beda-pembunuhan, pemerkosaan, pencurian dan sebagainya.

Hari-hari ini sejagat diliputi berbagai kondisi kejahatan. Meresahkan adalah pasti. Kejahataan seolah-olah menjadi trand yang biasa-biasa saja.  Namun sangat disayangkan korban lahir dimana-mana sebagai imbas kejahatan itu sendiri. Masih hangat dalam ingatan kita, kejahatan terhadap perempuan dan anak menjadi perhatian serius saat ini. Media kabar membahasakan kejahatan ini adalah “Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak”. Benarlah bahwa kasus kekerasan seksual menjadi trand yang menghiasi surat kabar. Masalah ini menjadi biang yang melahirkan banyak korban. Perempuan dan anak acapkali menjadi objek dari tingkah tak berbudi yaitu kejahatan. Mereka dipandang sebelah mata sebagai mahkluk “tak berdaya” dan pantas “dikelola”. Rayuan maut menjadi jalan demi memuluskan hasrat. Jika tak mau atau melakukan aksi lawan ancaman menjadi solusi akhir. Apalah daya, ditengah ketakberdayaan itu, kepasrahan adalah jalan akhir dari sebuah paksaan. Tak jarang perempuan dan anak (korban) tutup mulut karena ancaman dari yang katanya berbudi namun biadab. Persis saat bersamaan kejahatan tak terungkap. Lebih dari itu, sangatlah kejam usia korban masih jauh dibawah umur. Sayang, bukannya diperhatikan proses perkembangan dan pertumbuhannya tetapi toh ia ternoda oleh bejatnya si penjahat yang mencipta kejahatan.

Institut pendidikan ikut ”mencetak” korban.

Jangan berpikir bahwa institut pendidikan kita luput dari kasus ini. Namun nyatanya malah “memproduksi” korban kekerasan seksual. Justru intitut pendidikan malah menyumbang kasus yang serupa. Entah apa yang terlintas dalam benak kita jika menilai institut pendidikan saat ini? Pada umumnya semua orang berpandangan bahwa institut pendidikan-sekolah- adalah tempat melahirkan manusia yang bermoral setelah lingkungan keluarga. Inilah tujuan pendidikan kita. Namun dalam jalannya bukan hanya mencetak manusia yang bermoral tetapi justru melahirkan korban dari perilaku tidak bermoral. Kekerasan seksual malah terjadi di lingkungan ini. Dalam tulisan saya sebelunya saya menulis demikian;

 “Masih tentang pendidikan kita. Masalah suram saat ini tengah di perhadapkan kepada publik adalah kasus pelecehan seksual di lingkungan pendidikan.  Laporan Komnas anti kekerasan terhadap perempuan menerangkan lembaga pendidikan menjadi pencipta kekerasan seksual. Lembaga yang dimaksud adalah lingkup universitas 14 kasus; pesantren 10 kasus; SMA/SMK 8 kasus; SMP 4 kasus; TK/SLB/SD 6 kasus; Lembaga Pendidikan Kristen 2 kasus; sekolah vokasi 2 kasus; tak teridentivikasi 2 kasus; pihak lain 3 kasus. Data ini merupakan rentetan kasus pelecehan seksual tahun 2015-2020, juga belum terhitung 2021”. ( 2021 Mencatat, 2022....?)


 Data ini terungkap melalui sebuah majalah nasional yang menyorot angka-angka kasus kekerasan seksual di rumah pendidikan kita. Sebagai pribadi terpelajar semestinya malu dengan angka-angka ini. Seorang dosen atau guru bukannya mendidik anak-anak malah berlaku tak wajar. Begitu juga pelaku lain dengan leidah membujuk kata-kata manis untuk menipu dan menghantui korban. Disela-sela inilah gebiar kejahatan muncul dengan modus teruntuk mencari kesempatan diperbunyikan.

Merenggut kebebasan.

Bagi korban, kekerasan seksual yang dialaminya adalah suatu pengekangan hidup. Tentu bukan karena dirinya sendiri yang menciptakan hal tersebut melainkan imbas kejahatan. Disinilah letak kebebasan mereka direngut. Namun perlu dipahami bahwa kebebasan seseorang perlu beradaptasi dengan kebebasan orang lain. Kebebasan punya batas tersendiri sejauh seseorang itu hidup dalam lingkaran dengan manusia yang lain. Menghormati  bahkan ikut melindungi kebebasan orang lain adalah hukum wajib. Ini tidak dapat dihindarkan karena manusia adalah mahkluk yang bebas juga berakal budi.

Kesalahpahaman sering terjadi. Kebebasan bagi banyak orang adalah ikut maunya. Suka-suka gue. Terserah gue. Hak gue, dan sebagainya yang pada titik ini mencerminkan bahwa orang ingin mengeksploitir kebebasannya. Ini tentu bertentangan dalam jalannya hidup manusia. Pada prisipnya manusia berbeda dari binatang. Binatang tidak memiliki akal budi  yang dapat membedakan tindakannya. Kedati demikian, toh masih ada manusia yang berlaku seperti binatang  dalam menggunakan kebebasannya, melampiaskan kebebasan–nilai negativ dalam bentuk kejahatan- sehingga merugikan pihak lain. Kebebasan bukan untuk merugikan tetapi saling menghormati, menjaga dan menjunjung.

Kecemasan adalah pasti.

Melihat hiruk pikuk munculnya berbagai perilaku menyimpang seksual, tentu menimbulkan kecemasan dan keresahan bagi masyarakat pada umumnya. Kecemasan yang lebih mendalam juga menyakitkan dialami oleh mereka yang berada dalam lingkaran korban-objek kekerasan itu. Korban seolah-olah kehilangan jalan untuk melangkah dimasa depan. Kecemasan, trauma, masalah psikologi lainnya juga masalah fisik bukan tidak mungkin mempengaruhi korban. Maka perlu pendampingan khusus dari pihak terkait entah keluarga, tim medis juga pemerintah agar korban tidak terus terpojok dalam kecemasaan yang dimilikinya. Memang mudah untuk menyembuhkan luka berdarah, tetapi sulit menyembuhkan bekas luka itu atau menghilangkannya. Bekas luka ini dikemudian hari akan disebut dengan istilah afeksi negativ bagi korban karena pernah mengalami luka-luka batin waktu kecil. Jika hal ini terus menghantui para korban akan berpengaruh pada mental. Lebih dari itu akan membawa dampak yang tentu tidak diinginkan ialah korban melakukan aksi bunuh diri. Tentu ini memperhatinkan. Orang tua serta orang-orang terkait mesti pahami betul dengan hal ini. Membantu korban adalah kerja mulia. Jangan biarkan korban merasa terpinggirkan. Mereka adalah pribadi yang butuh pendampingan yang lebih intens. Anak-anak kita adalah generasi masa depan yang mesti dididik dalam perhatian. Membantu mereka adalah tugas kita supaya keluar dari zona kecemasan. Memang bukan hal yang mudah namun butuh kerja keras dan juga penuh cinta.

Komentar

Unknown mengatakan…
Mntap pa Kep

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa