Mencari Pemimpin
Mencari Pemimpin
Oleh Darvis Tarung
Pelajar Tamatan SMAN 3 BORONG
Pesta demokrasi (pemilu) merupakan sebuah pesta rakyat yang diadakan setiap lima tahun sekali. Pada moment ini rakyat memilih pemimpinnya dan dengan harapan penuh bahwa pemimpin yang dipilih dapat membawah suatu perubahan. Melihat situasi dunia sekarang ini selain hiruk pikuk mengurus masalah pandemic covid 19, sekelompok elit politik telah dan dalam proses mengenal serta mencari sosok yang mampu berkompetisi di pesta demokrasi tahun 2024 mendatang. Sosok yang dicari adaah mereka yang berpengaruh. Bukan hanya elit politik yang sibuk menyiapkan kandidat, masyarakat pun mulai memasang kacamata untuk membidik sosok yang mampu memimpin bangsa ini di tahun-tahun mendatang.
Tahun 2024 merupakan kesempatan bagi bangsa ini untuk memilih pemimpin baru baik di kursi eksekutif atau di kursi legislatif. Tahun 2024 merupakan waktu yang tidak panjang bagi sekelompok elite politik. Oleh karenanya waktu-waktu ini adalah kesempatan untuk mencari citra diri dan secara mendalam merefleksikan apakah siap berlaga dalam kontestan pemilu 2024. Tidak heran jika figur-figur politik bangsa ini atau juga organisasi (partai) tertentu melakukan survei mencari sosok yang betul-betul berkompeten. Mereka bermain mencari sosok yang handal walaupun tidak terlihat secara public namun besar kemungkinan bahwa nama-nama figur yang siap berlaga telah dikantongi oleh partai yang siap mendukung.
Lalu pemimpin seperti apa yang dibutuhkan dan diidam-idamkan oleh masyarakat sekarang ini? Tentu satu harapan besar masyarakat adalah sosok pemimpin yang bisa membawa suatu perubahan dalam memajukan bangsa dan Negara ini. Perubahan yang seperti apa? Sebagaimana yang dikutip dari buku A. Setya Wibowo yang berjudul Paideia: Filsafat pendidikan-politik Platon, di dalamnya Platon menegaskan bahwa pemimpin sejati tidak mencari kepentingan sendiri, melainkan kepentingan-kepetingan orang yang ia perintah. Bahwasanya ialah pemimpin yang dicita-citakan oleh masyarakat ialah pemimpin yang tidak tinggal dalam thumos yaitu hasrat akan bangga diri dan kekuasaan. Dan ini menjadi bagian harapan besar masyarakat dalam mencita-citakan pemimpin yang dengan sepenuh hati memperhatikan mereka yang ia perintah.
Dilain hal disebutkan juga pemimpin sejati ialah pemimpin yang mampu mengambil jarak dari sikap epithumia dimana nafsu akan kekayaan dan nafsu-nafsu yang lain secara tak terbatas (nafsu yang berkonotasi negatif). Pemimpin yang baik pula pada dasarnya ia tidak akan dikendalikan oleh sikap kepentingan sepihak. Hal ini terungkap oleh Setya Wibowo dalam buku yang sama bahwa rezim epithumia adalah menyuarakan segala nafsu tak terbatas yang tak bisa dikendalikan. Rezim epithumia juga merupakan rezim yang tidak peduli pada upaya pencarian bonum commune (kebaikan bersama). Setya Wibowo melanjutkan bahwa prinsip dasar politik adalah adanya yang memerintah dan yang diperintah. Dan persis epithumia tidak diberlakukan.
Apakah mereka yang mempunyai niat untuk menjadi bakal calon pemimpin di negeri ini mampu berorentasi pada situasi ini? Menghindarkan diri dari thumos dan epithumia. Pengendalian diri yang penting juga mulai mind set (pola pikir) seorang pemimpin.
Salah satu hal yang mungkin tidak dirasakan oleh sebagian orang bahwa seorang pemimpin yang baik juga tidak berlebihan dalam mengutarakan janji-janji dalam masa berkampanye. Kadang kalah janji yang disampaikan saat berkampanye selalu mengawang-awang tetapi realita setelah mendulang suara terbanyak tidak ada realisasi sedikit pun. Sangat disayangkan jika seorang calon pemimpin begitu getol dalam menyampaikan janji-janji politik.
Paul Budi Kleden dalam bukunya Bukan Doping Politik mengatakan untuk meyakinkan para pemilih akan kejujuran sebagai bukti keluhuran akhlaknya sang politisi memilih untuk tidak menjanjikan apa-apa. Namun lebih lanjut Kleden menegaskan bahwa pada hakikatnya politik tanpa janji adalah politik yang buruk. Tidak hanya itu, politik tanpa janji sebenarnya tidak patut disebut sebagai politik. Lalu bagaimana menyikapi janji para calon pemimpin?
Kembali pada argument Paul Budi Kleden bahwa janji politik tidak terlepas dari kualitas demokrsai yang dimiliki dan pernah ditunjukkan sebuah janji itu. Jika orang tersebut telah membuktikan diri sebagai pribadi yang memang setia pada janjinya, maka janji politisnya patut dipercaya. Seorang yang suka dan gampang mengingkari janji tidak dapat dipercaya. Politik memang tidak pernah bebas dari janji. Dan para politisi selalu membuat janji entah diakui atau tidak. Dan yang menjadi tanggung jawab warga adalah menilai janji tersebut.
Oleh karena itu tugas terbesar dari para bakal calon pemimpin adalah memperhatikan sungguh-sungguh harapan dari masyarakat. Lebih lagi bahwa menjadi seorang pemimpin yang mengendepankan bonum commune. Menjadi pemimpin yang tidak berada dalam thumos dan epithumia. Perlu diingat calon pemimpin yang sejati tidak memberi janji yang mengawang demi mendulang suara terbanyak. Dan pekerjaan rumah bagi masyarakat (sebagai pemilih) adalah pilihlah mereka yang berkompeten dan yang mampu membawa warna perubahan. Jangan cepat tergoda dengan janji manis politis. Suara kita menentukan jalannya bangsa ini ke depan.
Komentar