Sentuhan dalam Wajah Pendidikan

 

Sentuhan dalam Wajah Pendidikan

Maret 2020 lalu, sebuah awal dari kenyataan yang saat ini dirasakan oleh manusia di negeri Indonesia. Suatu fenomena membawa kedukaan besar pada setiap sendi kehidupan. Tentu tidak asing dan bukan pertama kalinya terekam dalam benak kita tentang masalah pandemi COVID 19 yang sudah  mencapai satu tahun terhitung pada Maret 2020 lalu, wabah ini “injak kaki” di tanah Nusantara. Dampaknya bukan main, yang tidak hanya merenggut ribuan nyawa tetapi juga mengubah tata cara kehidupan manusia. Relasi sosial dengan sesama terpaksa “direm-rem” yang memang harus penuh pengertian dan tentunya wajib diperhatikan.

            Berbagai sektor kehidupan manusia tidak luput dari konsekwensi pandemi ini. Salah satu sektor dari sekian yang ada adalah dunia pendidikan. Dalam masa-masa ini, kegiatan belajar mengajar (KBM) yang melibatkan guru dan murid telah masuk dalam suatu bingkai online atau dalam jaringan (daring). Suatu keadaan yang tak pernah dinikmati seperti ini dari tahun-tahun sebelumnya. Namun apakah pembelajaran online ini dapat berjalan dengan baik? Sejauh mana sentuhan-sentuhan teknologi,relasi dan jaringan  dalam merabah dunia pendidikan kita sekarang ini?

Sentuhan Teknologi

            Dalam menghadapi era revolusi industri 4.0, masyarakat dituntut untuk mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi yang serba digital, khususnya di bidang pendidikan. Kehadiran teknologi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang merupakan kunci untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan akan membawa Indonesia menjadi bangsa yang unggul.[1] Di zaman pandemi ini, pembelajaran online atau daring memang suatu capaian  kemajuan yang patut diberi apresiasi. Pembelajaran online merupakan sebuah prestasi dalam budaya pendidikan yang patut dirayakn. Mengapa demikian? Dalam pelaksanaan pembelajaran daring tentu melibatkan teknologi-teknologi modern yang dapat mendukung proses tersebut. Nah, dengan teknologi-teknologi tersebut rasa untuk terus mencari tahu, mencoba dan menelusuri suatu pengetahuan yang baru terpikat disetiap individu demi “mengakses dan mengeksis” setiap tuntutan belajar yang ia hadapi. Hemat saya bahwa teknologi-teknologi ini sangat membantu dan berperan penting dalam dunia pendidikan ditengah krisis pandemi serta sebuah tanda bahwa tingkat kemajuan teknologi sudah semakin nampak di permukaan.

Pertumbuhan pengguna layanan teknologi pendidikan melonjak. Telkomsel, penyedia layanan seluler terbesar di Indonesia, menyebut ada kenaikan traffic payload untuk aktivitas belajar daring hingga 236 persen di jaringannya sejak pandemi meluas. CEO startup teknologi pendidikan AyoBlajar Fariz Isnaini memperkirakan ada 45 juta siswa di Indonesia yang berpotensi jadi calon pengguna layanan teknologi pendidikan. Angka tersebut bahkan belum menghitung tenaga pengajar ataupun lembaga pendidikan di dalam negeri. Hingga saat ini sudah ada sekitar 17.000 orang yang terdaftar sebagai pengguna layanan AyoBlajar sejak pertama kali diluncurkan pada September 2020 lalu. Di saat bersamaan, ada sekitar 10.000 pengguna aktif tersebar di 29 institusi pendidikan yang telah menggunakan LMS eCadme milik AyoBlajar.[2]

 Penggunaan teknologi pendidikan saat belajar mandiri saat ini merupakan salah satu usaha dalam pengimplementasikan media pembelajaran terbaru berbasis teknologi yang beraneka ragam serta menjadikan usaha promotif terhadap teknologi pendidikan. Teknologi pendidikan juga akan sangat membantu dan mudah dipahami dalam kehidupan milenial sebagai media pembelajaran inovasi yang memudahkan mereka untuk mencari berbagai macam sumber pengetahuan dengan mudah dan dapat dilakukan saat kapanpun dan dimanapun. Hal ini menciptakan teknologi pendidikan memberikan dampak yang sangat berguna dalam meningkatkan proses belajar mandiri serta menciptakan pemikiran open minded terhadap pendidikan yang saat ini hanya melalui belajar tatap muka atau secara langsung (offline).[3]

Sentuhan Relasi

            Disamping merayakan kemajuan teknologi tersebut, muncul suatu kekwatiran yang mendalam tentang hilangnya interaksi atau relasi personal antara guru dan peserta didik dan juga antara sesama peserta didik. Sebagaimana yang kita ketahui, guru merupakan orang tua kedua dari setiap peserta didik yang mampu membentuk, membina dan membangun karakter dari setiap individu yang mengenyam pendidikan  baik dari tingkat dasar sampai pada tingkat menengah. Guru tidak soal memberi materi atau bahan ajar kepada anak didiknya tetapi mempunyai peran secara nyata dalam hubungan dengan martabat manusia dan kepentingan manusia sebagai pribadi. Kekwatiran ini muncul ketika suasana pendidikan kita sudah begitu berbeda dari situasi sebelumnya. Tentu hal ini kita sadari akan efek dari pandemi yang kian merusak rong-rong kehidupan manusia.

Pengalihan pembelajaran berbasis daring tentu membuat semua orang terasa tersentak, dan berusaha fokus pada pembelajaran berbasis daring. Secara umum, elemen yang paling berkaitan erat dengan pembelajaran berbasis daring ini adalah guru dan siswa. Pada konteks tertentu, pada siswa kelas sekolah dasar, bahkan sekolah lanjutan pertama mungkin masih memerlukan peran pendamping dalam pembelajaran daring yaitu orang tua atau orang sekelilingnya yang bertanggungjawab dalam membantu proses pembelajaran daring bagi anaknya.[4]

            Sekarang ini orang tua dari setiap peserta didik diharapkan mampu mendampingi anak-anak mereka. Orang tua harus punya waktu untuk menempatkan diri sebagai guru di rumah. Namun apakah ini sudah efektif? Tentu tidak. Peran seorang guru di sekolah tentu berbeda dengan orang tua yang berperan  guru di rumah. Keterbatasan pengetahuan orang tua  kadang menjadi suatu kendala bagi perkembangan belajar anak. Kalau belajar soal moral, etika, sopan santun,nilai kejujuran dan sebagainya saya rasa setiap orang tua mampu melakukan hal demikian dan tentu hal ini terjamin. Namun apakah setiap orang tua mampu mengajarkan teori-teori ilmuwan seperti hukum gravitasi, teori phytagoras, teori kimia, fisika, aljabar, dan materi-materi yang lain yang hanya dikuasai oleh guru di sekolah. Memang ini menjadi suatu fenomena sosial yang kian dihadapi oleh setiap peserta didik. Walaupun demikian kenyataannya, maka dengan adanya sekolah online guru tetap saja mengantisipasi asupan teori-teori pembelajaran yang harus dikonsumsi oleh anak didik di setiap kesempatan.

Perubahan proses pembelajaran ini tentu berdampak pada banyak hal, mulai dari berkurangnya intensitas interaksi antar siswa, sampai pada tingkat kejenuhan dalam pembelajaran model daring dan pembelajaran tatap muka dalam setting new normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran model daring terbukti kurang efektif dalam pembelajaran, dan siswa juga kurang memahami materi yang di sampaikan oleh guru dengan menggunakan aplikasi google.classroom dengan media telpon seluler yang memiliki hambatan dalam koneksi jaringan (Rachmat & Krisnadi, 2020 : 1). Hasil penelitian lain menunjukkan kendala dalam proses pembelajaran online yaitu keterbatasan penguasaan teknologi internet, terbatasnya paket data internet, tugas dan tanggungjawab tambahan orang tua sebagai pendamping belajar di rumah, dan kurangnya interaksi dengan guru (Purwanto et al., 2020 : 1).[5]

Sentuhan Jaringan

            Kekurangan yang paling menonjol adalah pengajar dan siswa tidak terbiasa dengan pembelajaran daring. Apalagi dalam pembelajaran daring menggunakan aplikasi melalui smarthphone ataupun Laptop karena tidak semua peserta didik bisa menggunakannya terutama untuk anak tingkat Sekolah Dasar yang masih minim pengetahuan menggunakan media elektronik.[6] Bukan hanya itu tetapi masalah lain yang muncul yakni jaringan internet yang tidak mendukung. Data Kemendikbud pun menunjukkan sebanyak 33.227 satuan pendidikan mempunyai listrik, tapi tidak tersentuh internet. Sementara 7.552 satuan pendidikan lebih memprihatinkan karena tak tersentuh listrik apalagi internet.[7]Khusus daerah-daerah yang  tidak dijangkaui oleh jaringan tersebut, para peserta didik terpaksa ketinggalan mata pelajaran karena sulitnya untuk mengakses. Masalah jaringan ini terkadang memaksa para peserta didik harus panjat pohon atau mencari tempat yang dapat dijangkui oleh jaringan internet. Hal ini betapa susahnya peserta didik  khusunya di pelosok-pelosok yang masih tertinggal dengan kemajuan sebagaimana yang dirasakan oleh para peserta didik yang tinggal di kota dan serba terfasilitasi.

Dengan demikian, semoga di masa pandemi ini  kita belajar untuk melihat situasi yang kian dihadapi oleh peserta didik yang memiliki banyak kendala. Khususnya mereka yang jauh dari sarana dan prasarana yang memadai. Harapannya pemerintah terus membangun jaringan-jaringan di setiap daerah-daerah sehingga tidak terkesan “tertinggal”.

 
 
 
 
 
                                                                    Darvis Tarung
                                                            Alumni SMAN 3 BORONG

Bahan Kajian:

[2] https://id.techinasia.com/perkembangan-teknologi-pendidikan-di-indonesia selasa 23 Maret 2021  pukul 18.15

[5] Ibid.

[7] ttps://katadata.co.id/muhammadridhoi/berita/5f50ebddd0f80/masalah-berlapis-sekolah-daring-yang-tak-selesai-lewat-subsidi-pulsa Selasa 23 Maret 2021 pukul 17.45.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa