Sopi, Budaya, dan Ekonomi

 

Sopi, Budaya, dan Ekonomi


Oleh Darvis Tarung

Anggota Komunitas Pra-Novisiat Claret, Kupang.

 

Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal telah “melegalkan” produksi minuman beralkohol. Menariknya, di dalam Perpres ini disebutkan beberapa kategori wilayah yang terbuka melakukan investasi minuman keras (miras). Empat provinsi yang disebutkan antara lain: Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Bali, Sulawesi Utara, dan Papua. Ketentuan empat wilayah terbuka proyek investasi miras ini, diteken Presiden Joko Widodo pada 2 Februari 2021 lalu.

Hal ini, jika dicermati, tentu berdampak baik dan membawa angin segar bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur khususnya. Sejak lama minuman tradisional dengan kadar alkohol (sopi) sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur. Sopi merupakan jenis miras yang berada dalam kultur kebudayaan masyarakat dimana proses pembuatannya dilakukan secara konvensional. Minuman keras jenis sopi masuk dalam sistem sosial ekonomi ditengarai mampu membantu meningkatkan ekonomi masyarakat. Minuman keras jenis sopi dikelola secara sederhana melalui proses penyulingan sari enau atau lontar bebas zat kimia.

 

Sopi dan budaya

Dalam kebudayaan masyarakat Manggarai (Flores) khususnya, minuman tradisional jenis sopi sudah menjadi suatu diawetkan melalui tradisi secara turun-temurun dan diwariskan dari leluhur hingga ke generasi sekarang ini. Dalam pelaksanaan upacara adat misalkan, sopi menjadi suatu unsur yang diwajibkan. Dengan kata lain, minuman jenis sopi merupakan sesuatu yang tidak bisa dilewatkan. Makna lain dari minuman tradisional (sopi) ialah sebagai alat perekat kekerabatan dalam berbagai urusan adat. Dalam keberlangsungan acara adat, sopi disuguhkan kepada semua peserta yang turut ambil bagian dalam upacara adat tersebut.

Selama upacara berlangsung, peserta upacara adat biasanya menikmati sopi sambil menyanyikan lagu-lagu adat (nenggo). Dalam acara besar lainnya, seperti acara syukuran panen (penti)  pasti ada yang menari (caci, sae, dan lain sebagainya) yang diiringi gong dan gendang. Semua peserta yang terlibat dalam ranum budaya ini pasti disuguhkan sopi sebagai stimulus (perangsang) agar bisa berani dalam menari. Bukan hanya itu, minuman sopi juga diberikan kepada leluhur sebelum upacara adat diselenggarakan. Ritual ini, dilakukan oleh juru bicara adat tertentu (Manggarai: juru torok) dengan tujuan menghormati dan mengundang para leluhur agar hadir serta dalam mendengarkan apa yang menjadi tujuan dari diselenggarakannya upacara adat tersebut.

 

Sopi dongkrak ekonomi

Minuman jenis sopi tidak hanya menjadi bagian dari konten budaya. Akan tetapi, dalam perjalanan waktu, sopi pelan-pelan berperan dalam proyek investasi ekonomi masyarakat. Di beberapa daerah penghasil sopi di Kecamatan Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur misalnya, sopi sangat membantu masyarakat dalam proses pemulihan ekonomi. Dengan menjual sopi, masyarakat mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bukan hanya soal memenuhi kebutuhan makan-minum setiap hari, akan tetapi dari usaha memproduksi sopi, masyarakat juga mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tidak sedikit, masyarakat di beberapa daerah tersebut, menjadikan usaha pengelolaan sopi sebagai pekerjaan utama.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat bahwa masyarakat NTT membantu kelancaran pergerakan ekonomi lokal. Masyarakat NTT menempatkan minuman beralkohol jenis sopi sebagai bagian dari budayanya (Victory News, 2/3/2021). Pernyataan Laiskodat dalam hal ini tentunya menjadi stimulus yang mendukung masyarakat NTT mengembangkan perekonomian lokalnya. Kebijakan Pemerintah, baik pusat maupun daerah, sejatinya telah memberi peluang bagi masyarakat yang mengelola usaha minuman jenis sopi untuk bisa menghasilkan atau memproduksi minuman keras tradisional yang berkualitas dan bersaing dengan produk lainnya.

Dengan dikeluarkannya Perpres Nomor 10 Tahun 2021, dengan sendirinya telah mendukung kebijakan Pemerintah Provinsi NTT yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor 44 Tahun 2019 tentang Pemurnian dan Tata Kelola Minuman Tradisional Beralkohol Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kedua payung hukum tersebut, tentunya mampu membawa kebahagiaan tersendiri bagi masyarakat yang mengelola minuman keras tradisional. Kedua kebijakan ini, juga akan berdampak pada pemaksimalan potensi ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dengan melihat dua aspek di atas (kebudayaan dan ekonomi), pemerintah telah mewadahi keinginan dan kebutuhan masyarakat. Apresiasi yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur terhadap keputusan Presiden, hemat saya, merupakan suatu penghargaan bagi masyarakat. Dengan dukungan yang baik dari Pemprov NTT, kebijakan hukum atas bidang penanaman modal memberi ruang kepada masyarakat lokal dalam memajukan kebudayaan, aset-aset tradisionalnya, serta menjaga kearifan lokal. Oleh karena itu, dengan adanya Perpres ini, diharapkan agar masyarakat – khususnya NTT yang kebanyakan menjadi produsen minuman tradisional beralkohol – mampu mengembangkan ekonominya dan bisa mengelola minuman keras tradisional (sopi) sebagai bagian dari kekayaan budaya.

Kembali di cabut

            Belum lama diberlakukannya, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 akhirnya dicabut. Hal ini tentu berdampak pada usaha masyarakat yang sudah lama memproduksi minuman keras tradisional (sopi). Suatu pertanyaan yang perlu direfleksikan kembali adalah bagaimana dengan usaha masyarakat ini?. Bagaimana dengan ekonomi masyarakat yang telah lama mereka usahakan?.

 

Artikel ini telah tayang di media Victory News pada 5 Maret 2021.

Komentar

Nanafher mengatakan…
Mantap ase frater 🙏

Postingan populer dari blog ini

Jejak Langkah Raynildis: Perjalanan Dalam Sunyi

Lorong San Juan

Oa