MERAWAT KESETIAAN IMAN KRISTIANI DI MASA PANDEMI
MERAWAT KESETIAAN IMAN KRISTIANI DI MASA PANDEMI
(Refleksi Biblis atas Kesetiaan Tokoh Ayub dalam Kitab Ayub 2:3)
I. Pengantar
Munculnya virus
corona menjadi suatu fenomena baru yang membawa kedukaan besar pada
kehidupan manusia. Virus corona tidak hanya merenggut ribuan nyawa, tetapi
juga mengubah tata cara kehidupan manusia di seluruh dunia – mulai dari
interaksi sosial, maupun proses berelasi dengan Tuhan. Perubahan
dinamika lainnya, bisa dijumpai dalam tata cara bersalaman, dari berjabatan
tangan dan berpelukan menjadi salam menggunakan siku atau melambai dari jarak
tertentu. Berbagai sendi kehidupan manusia seakan melemah, baik aspek sosial,
politik, ekonomi, budaya, religi, pendidikan, dan lain-lain.
Merenungi hal ini sebagai Umat Kristiani kita pasti mengenal salah satu tokoh dalam Kitab Suci yang sangat popular apabila kita berbicara mengenai penderitaan. Tokoh tersebut adalah Ayub yang mana keseluruhan potret kisahnya terdapat dalam Kitab Ayub. Ayub dikenal sebagai seorang yang saleh, jujur, dan takut akan Allah. Ia selalu setia dalam melakukan apa yang dikehendaki oleh Allah. Akan tetapi, dalam kesalehannya itu, Ayub tetap melewati banyak cobaan dan penderitaan yang silih berganti – mulai dari anaknya yang meninggal, hartanya habis, dan juga istrinya yang pergi meninggalkan dia. Menariknya, dari semua situasi penderitaan yang dialaminya itu, Ayub justru tidak berpaling.
Dalam pergulatan penderitaannya, Ayub sampai pada sebuah puncak refleksi, yakni Allah sebagai yang maha kuasa. Penderitaan tokoh Ayub, meskipun sudah terjadi pada ribuan tahun yang lalu, sampai sekarang pun, masih sangat relevan dengan kehidupan umat manusia. Penderitaan Ayub seakan menggambarkan seluruh penderitaan kita pada zaman sekarang. Ayub kehilangan segala-galanya, akan tetapi ia tetap setia pada Allah dalam penderitaannya.
II. Potret Kitab Ayub
Kitab Ayub merupakan salah satu Kitab Kebijaksanaan dalam Perjanjian Lama. Kita Ayub, diperkirakan ditulis pada abad V SM – sekitar satu abad setelah bangsa Israel keluar dari tanah pembuangan kembali ke tanah Kanaan[1]. Namun demikian, mengenai waktu yang tepat kapan ditulisnya kita Ayub tidak diketahui secara pasti. Pada umumnya, kitab ini berbicara tentang orang baik yang ternyata juga mendapat penderitaan. Kitab Ayub sejatinya mengisahkan penderitaan dan ketabahan tokoh bernama Ayub dalam segala penderitaannya. Penulisan Kitab Ayub ditunjukkan untuk`memahami dan mencari tahu dari mana asal segala penderitaan.
Hal ini dipengaruhi oleh pemahaman bangsa Yahudi sebelumnya yang terlalu sederhana memaknai penderitaan sebagai hukuman dari Allah karena dosa manusia. Anggapan inilah yang kemudian ditentang oleh tokoh Ayub. Ketika sahabat-sahabat Ayub melihat penderitaan yang dialami Ayub, mereka menyatakan bukan tidak mungkin bahwa Ayub telah melakukan sebuah dosa besar sehingga Allah memberinya hukuman. Ayub mengatakan bahwa dirinya, sama sekali tidak pantas untuk mendapat penderitaan-hukuman itu, sebab ia tidak berdosa. Anggapan orang Yahudi yang menilai bahwa orang menderita akibat dosa dan hukuman dari Allah, dengan demikian tidak dapat dipertahankan sebagai sebuah kebenaran, jika dihadapkan pada anggapan Ayub yang merasa bahwa dia tidak berbuat dosa.
2.1 Pribadi Ayub yang Menderita
Kitab Ayub dalam kisah Perjanjian Lama memperlihatkan rangkaian dinamika kehidupan seseorang bernama Ayub. Secara umum, kitab ini memperlihatkan seorang tokoh bernama Ayub, seorang yang setia kepada Allah, namun mengalami penderitaan yang bahkan dirinya sendiri tidak mengetahui mengapa hal itu terjadi atas dirinya. Ceritanya berlanjut sampai pada akhir kisah dimana Allah sendiri yang memberi pemahaman atas kesetiaan pribadi Ayub. Kitab ini pun kemudian dianggap sebagai masterpiece dalam Sastra Kebijaksanaan Israel.[2] Ayub adalah orang yang saleh dan jujur, takut kan Allah dan menjauhi kejahatan. Ayub taat dan setia kepada Allah serta tetap bermoral baik walaupun mengalami musibah yang menghancurkannya seperti orang yang tidak setia (Ayub 1:1-8;2:3).[3]
Pribadi Ayub dalam kisah ini, pada mulanya merupakan seorang yang kaya, dimana keluarganya hidup dalam suasana berkelimpahan. Ayub dikenal sebagai orang yang setia dan takut akan Allah. Firman Tuhan kepada iblis “apakah engkau memperhatikan hambaku Ayub? Sebeb tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, takut akan Allah yang menjauhi kejahatan, ia tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun engkau membujuk Aku melawan dia untuk mencelakakanny tanpa alasan, (Ayub 2:3). Dengan dianugerahi tujuh orang anak laki-laki dan tiga anak perempuan, Ayub selalu memperhatikan mereka agar mereka tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak Allah (bdk. Ayub 1:1-5). Kesan ini setidaknya memperlihatkan sosok Ayub yang dikarunia rahmat dari Allah sendiri, yakni kekayaan dan kesejahteraan.
Sementara Ayub yang digambarkan sebagai sosok yang setia dan takut akan Allah, kemudian datanglah iblis untuk menguji kesetiaanya, dan tertulis bagaimana Allah mengizinkan hal itu terjadi. Ayub dicobai, ia kehilangan segalanya dan jatuh dalam penderitaan (Ayub 1:6-2:8). ketika Ayub sedang dalam penderitaan, datanglah ketiga sahabatnya (Elifas, Bildad, dan Zofar) dengan tujuan untuk menghiburnya, namun nyatanya mereka justru beranggapan bahwa penderitaan Ayub sebagai ganjaran atas dosanya. Suatu pandangan tradisional yang mungkin masih terwaris sampai saat ini, bahwa penderitaan adalah akibat dari dosa dan hal ini mengandaikan hanya orang berdosalah yang dapat menderita.
Ayub kian bergumul dalam penderitaanya, kecewa akan sahabat-sahabatnya, sekaligus protes akan penderitaan yang terjadi atasnya. Ia sendiri merasa tidak bersalah tetapi tidak berpaling dari Allah, walaupun Ia merasa Allah tidak adil. Penderitaan dan pergumulan panjangnya diwarnai dengan gagasan-gagasan teman-temanya. Hingga hadir seorang Tokoh dalam cerita ini bernama Elihu Bin Barakheel, seorang yang merasa diri benar dan ingin mengungkapkan gagasanya (Ayub 32:1-22). Penderitaan Ayub kemudian berakhir dengan kehadiran Allah yang berbicara tentang kehendaknya. Ayub dipulihkan dan Allah menganugerahinya segala sesuatu dua kali lipat dari kehidupan sebelumnya (Ayub 42:7-17). Iman dan kesetiaan Ayub menggambarkan sosok manusia yang mampu bertahan dalam penderitaan. Walaupun Ayub merasa tidak bersalah, kepercayaan menjadi kekuatan. Akhirnya, jawaban itu datang dari Allah sendiri. Dengan demikian, iman harus berlangsung terus-menerus ketika pengertian tiada memadai.[4]
2.2 Konteks Penderitaan Ayub
Penderitaan yang digambarkan dalam kitab Ayub bukanlah penderitaan yang dialami suatu bangsa atau suatu negara di dunia ini. Penderitaan itu lebih-lebih menunjukkan penderitaan personal tokoh Ayub. Kita dapat melihat potret penderitaan Ayub dalam beberapa penjabaran berikut.
Pertama, Ayub kehilangan segala ternaknya serta beberapa orang budaknya (Ayub 1:14-17). Kedua, setelah segala ternaknya habis semua, anak-anaknya juga ditimpahi tembok rumah yang roboh hingga mati (Ayub 1: 18-19). Ketiga, isteri Ayub meninggalkan Ayub dalam kesusahan. Namun, kita perlu diperhatian bahwa walaupun dalam penderitaannya yang begitu berat Ayub tetap setia, teguh, dan percaya kepada kehendak Allah. Hal ini dibuktikannya dengan ungkapan yang begitu tulus: “Dengan telanjang aku keluar dari kadungan ibuku, dengan telanjang pula aku akan kembali kepadanya. Tuhan yang memberi, Tuhan pula-lah yang mengambilnya, terpujilah nama Tuhan” (Ayub 1:21). Selain menujukkan kepercayaannya pernyataannya ini juga menujukkan bahwa Ayub menyadari, walaupun segala hartanya hilang, anak-anaknya, budak-budaknya mati, dan istrinya meningglkan dia dalam kesusahannya, ia tetap percaya pada penyelenggaraan Allah, sebab Allah yang berkuasa atas semuanya itu.
Ayub tidak mengetahui mengapa dia menderita. Ayub tahu bahwa ia tidak berdosa atau setidaknya ia melakukannya tanpa disadarinya. Dalam kisah Ayub, perlu kita ketahui bahwa bahkan Tuhan sendirilah yang mengatakan Ayub orang baik (Ayub 1:8;2:3). Dalam penderitaan beratnya, Ayub tetap menyadari bahwa Allah itu benar-benar ada, dan bahwa semua yang dimilikinya (harta bendanya), orang atau hewan ternak lainnya hanya titipan Tuhan yang harus dijaganya. Dengan demikian, ketika tiba waktunya Tuhan memang sudah mau mengambilnya kembali, itu merupakan hak Tuhan. Tuhan-lah pemilik semuanya. Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang pula aku akan kembali kepada yang Mahakuasa, terpujilah nama-Nya (Ayub 1:21). Dengan keteguhan imannya, Ayub tetap sabar menyerahkan segalanya dalam penyelenggaraan Tuhan. Dengan begitu, Ayub tidak berbuat sesuatu yang pada akhirnya membuat ia jatuh dalam dosa dan mempersalahkan Allah (Ayub 1:22). Adapun penderitaan adalah suatu hal yang buruk, entah dari mana asalnya Ayub tetap teguh sehingga katanya: “Apakah kita menerima yang baik saja dari Tuhan, dan menolak yang buruk.”
III. Iman Kristiani
Iman Kristiani merupakan ungkapan kepercayaan dari orang-orang yang mengikuti atau menganggap Kristus sebagai Sang Juruselamat. Kristus adalah Allah yang menjelma menjadi manusia manusia, disalibkan, dan dibangkitkan kembali pada hari yang ketiga. Bagi orang kristiani Kristus adalah sumber source kehidupan mereka. Kritus sebagai Allah Putra yang diutus oleh Allah Bapa untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Dosa yang dilakukan oleh Adam dan Hawa(dosa awal). Sekaligus menciptakan jurang pemisah antara Allah dan manusia. Sebagai penguatan, iman kristian berpusat pada Kristus /kristosentris. Kata iman berasal dari bahasa Yunani. Iman berasal dari kata “HA-Emin” yang berarti “mengimani/memercayai”. Kristiani berarti orang-orang yang mengikuti gaya hidup dan ajaran Kristus.[5]
Orang Kristiani berkeyakinan bahwa akan ada kehidupan sesudah kematian, seperti yang dijanjikan oleh Kristus. Ajaran Kristen adalah ajaran monoteisme, mengimani satu Allah, yang memiliki tiga pribadi, Allah Bapa, dan Allah Putra, dan Allah Roh Kudus. Allah Bapa yang menciptakan dunia dan segala isinya. Allah Putra yang menyelamatkan manusia dari dosa. Dan Allah Roh Kudus menuntun dan megarahkan manusia. Iman Kristen berpusat pada ajaran Kristus, yang diteruskan oleh para Rasul dan pengikut-pengikut lainnya yang telah dibaptis menjadi Kristen. Kaum beriman kristiani menaruh kepercayaan pada Kristus untuk memperoleh keselamatan yang dijanjikan kepada mereka. Kaum kristiani diminta untuk mengikuti dan meneladani gaya hidup Kristus dan ajaran-ajarannya.[6]
IV. Mempertahankan Kesetian Iman Kristiani (menurut kitab Ayub)
Untuk mempertahankan iman yang perlu dilakukan adalah mengembangakan dan memupuknya. Iman itu seperti tumbuhan yang setiap harinya membutuhkan nutrisi agar dapat tumbuh dengan sehat, segar, dan kuat. Nutrisi bagi iman adalah doa. iman yang kuat dan kokoh serta hidup sunguh bergantung pada hidup doa siapa yang memegang iman. selain itu doa juga merupakan puncak keberimanan kita terhadap Allah. Berdoa adalah pengangkatan jiwa dan hati kepada Allah. Pengangkatan jiwa dan hati oleh manusia ini harus berasal dari kerendahan hati manusia[7]. Doa juga merupakan tindakan keagamaan yang paling mendasar. Doa merupakan tentang menerima kenyataan bahwa manusia itu adalah makhluk yang fana yang hanya bergantung kepada Allah[8]. Tentang bagaimana cara berdoa yang baik memang tidak kita ketahui. Kitab Suci bahkan tidak menunjukankan bagaimana rumusan doa yang baik. Hanya melalui pengalaman pribadi seorang manusia bisa mengetahui apa itu doa dan bagaimana semestinya berdoa. Hal ini memang menarik karena dengan itu kita dapat berdoa sesuai dengan isi hati kita yang paling dalam tanpa merumuskan doa-doa yang dibuat oleh orang-orang tertentu. Sebab doa yang terbaik adalah doa yang berasal dari hati yang dalam (hati nurani).
Kemudian ketaatan atau kesetiaan pada iman itu juga darinnya dituntut untuk melakukan penyerahan diri secara total segenap hidup pada penyelengggaraan Allah. Tidak dipaksakan bahwa iman itu langsung mencapai titik sempurna, namun bagaimana dalam penyerahan diri itu kita diharapkan untuk mengatasi sikap egoisme kita dengan penyerahan diri secara total dan jujur kepada Allah. Ketaatan iman menuntut agar setiap orang meninggalkan cara hidup yang lama (dalam hal ini yang buruk) kepada yang lebih baru atau baik seusai dengan ajaran Yesus Kristus[9].
Yang penting juga adalah kita perlu mengembangkan iman itu dengan memperhatikan hal- hal berikut.
Pertama, pengetahuan akan iman dan kesetiaan terhadapanya merupakan suatu yang wajib untuk dilakukan sebagai umat beriman akan Allah. Pengusahaan untuk memahami atau memiliki pengetahuan akan wahyu Kristiani yang merupakan sumber komunikasi dari Allah di dalam sejarah. Oleh karena itu, kita harus memiliki pengetahuan secukupnmya mengenai iman itu. Pengetahuan akan iman memang sangatlah luas, tetapi yang terpenting dasar-dasarnya bisa kita ketahui. Pengetahuan mendasar yang harus dimiliki adalah pengakuan terhadap iman yang merupakan kebenaran-kebenaran inti, misalnya doa Bapa Kami, Kesepuluh Firman Allah, perintah-perintah gereja dan sakramen-sakramen utama, yang meliputi Pembabtisan, pengampunan (tobat) dan ekaristi[10]. Iman akan mampu menerangi apabila sungguh-sungguh diresapi oleh akal budi. Tentu saja dalam hal ini bukan berarti bahwa kita mengabaikan hal praktisnya iman itu, sebab iman tanpa perbuatan pun hakikatnya mati (Yak. 2:17). Penumbuhan iman itu tidak hanya melalui siraman oleh orang lain melainkan juga bagaimana kita aktif untuk mencari dan merefleksikan kebenaran-kebanaran iman itu.
Kedua, yang perlu dilakukan adalah melindungi dan membela iman. Membela iman di sini bukan berarti bahwa iman itu seakan-akan tidak kuat, iman itu bergantung pada siapa pemeggang iman itu. Hal ini lebih kepada istilah minoritas-mayoritas dan penderitaan yang dialami oleh masyarakat. Minimnya sikap toleransi, saling membantu di antara manusia sangat berpengaruh pada sikapnya pula dalam bersosialisasi. Dalam sejarah hidup manusia yang sering dirundung penderitaan, iman seseorang sangat ditantang untuk terus bertahan. Memang hal ini bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan bahkan dikatakan mustahil. Sebagai orang Kristiani sudah menjadi kewajiban kita untuk selalu tekun dalam doa, juga mengembangkan pengetahuan dan penghayatan akan kebenaran nilai iman serta memperkuat solidaritas dengan sesama orang beriman, juga dalam hidup beriman.[11]
Ketiga, yang perlu kita lakukan adalah memperhatikan kesaksian iman. Kesaksian iman ini kadang dianggap sepeleh oleh kebanyaakan orang Kristiani. Orang Kristiani kadang dalam tindakannya takut untuk melakukan kesaksianan imannya. Hal sederhana seperti membuat tanda salib di tengah kelompok agama lain merupakan salah satu bentuk melakukan kesaksian iman. Yesus dalam injil bahkan menuntut murid-murid sebuah kesadaran positif untuk mengakuinya di hadapan manusia, dengan tekat bulat untuk tidak menyangkal Dia (Mat 10:32-33; bdk. Mrk 8:38; Luk 9:26; Tim 2:12). Mengakui iman atau memberikan kesaksian iman itu hendaknya tidak dilakukan secara paksa melainkan dengan hati penuh cinta kepada Allah dan kepada sesama sebagai bentuk rasa syukur. Memperkenalkan kebenaran injil demi kepentingan Kerajaan Allah dan keselamatan bersama. Terutama bagi sesama yang mengalami penganiayaan, penderitaan akibat pandemic seperti yang sedang terjadi sekarang. Sehingga dalam segala pederitaan dan kesusahan seseorang dapat bertahan. Tabah dalam segala kesusahan dan penderitaan serta memiliki pengharapan yang tidak pernah putus akan penyelenggaraan Allah dalam hidup. Penderitaan sendiri memang bukanlah sejarah baru dalam hidup Kristiani. Kita dapat melihat atau mendengar masa awal kekristenan, selain memiliki kerelaan untuk mewartakan atau memberi kesaksian akan iman mereka bahkan merelakan nyawa mereka. Kita dapat segera belajar dari banyak kisah para martir yang mati demi iman itu. Sangatlah tidak mungkin orang merelakan nyawannya hanya untuk sesuatu yang mutlak tidak ada. Penderitaan dan kematian para martir merupakan bukti yang paling jelas mengenai keyakinan gereja bahwa iman tidak boleh disangkal[12]. Pengakuan akan iman juga tidak bisa diabaikan dalam menjaga kesetiaan iman Kristiani.
Hal yang lain yang tidak kurang adalah membaca Kitab Suci. Dengan membaca Kitab Suci kita akan belajar dari tokoh-tokoh tertentu juga mengenai kebenaran-kebenaran Allah. Khususnya tokoh yang sedang kita bahas dalam kesempatan ini. Kemudian menolong sesama dalam penderitaan dan kesusahan yang dialami sesama.
V. Penutup
Hal pertama yang menjadi penyebab manusia meragukan eksistensi Allah adalah kecenderungannya melihat keburukan dari sebuah penderitaan. Manusia kurang memperhatikan kebaikan yang menjadi hasil dari penderitaan yang dialaminya. Oleh karena itu, dalam penderitaan salah satu hal yang perlu dilakukan adalah bagaimana kita tetap bertahan dalam penderitaan itu dari hari ke hari selama mengalaminya. Sebetulnya, manusia berusaha untuk menjadi optimis, mencoba melihat jauh tentang makna dari apa yang dialamainya, bukan malah langsung menolaknya. Ini bukan berarti bahwa manusia melupakan penderitaan yang dia alami melainkan mencari makna kebaikan di balik penderitaan. Kebaikan akan dirasakan ketika manusia berusaha untuk mencarinya dan berusaha menghilangkan pikiran yang pesimistik dari dalam diri. Kita belajar dari kesetiaan tokoh Ayub yang dengan teguh dan penyerahan diri yang sungguh-sungguh kepada Allah. Pada Allah pun tidak akan mengecewakan umat yang berserah diri terhadap-Nya, sehingga pada akhirnya seperti Ayub yang diberkati, kita juga akan diberkati.
DAFTAR PUSTAKA
Hardiwardoyo, Al. Purwa,
2001, Catatan-Catatan Singkat tentang Kitab Suci, Yogyakarta: Kanisius.
Peschke, Karl-Heinz,
2003, Etika Kristiani Jilid II Kewajiban Moral dalam Hidup Keagamaan, Maumere: Ledalero.
Riyadi, St. Eko,
2016, Pengantar ke dalam Kitab Suci, Yogyakarta: Kanisius.
Wulandari, Retno, Makna Hidup Doa sebagai Sumber Spirit Pelayanan Para Katekis di Zaman Sekarang (Skripsi), diunduh dari: https://repository.usd.ac.id/32986/2/141124016_full.pdf, 12 Februari 2021, 11:30.
Edukasi Kristen “Arti Iman Dalam Kristen Yang Sejati”, diunduh dari, Arti Iman Dalam Kristen Yang Sejati | Edukasi Kristen, 12 Februari 2021, 03:12.
Willy-Massaubat , “Ajaran-ajaran pokok iman kristiani”, diunduh dari Apa Saja: Ajaran-Ajaran Pokok Iman Kristiani (willy-masaubat.blogspot.com) 12 Februari 2021, 03:30.
[1]Al. Purwa Hardiwardoyo, Catatan-Catatan Singkat tentang Kitab Suci, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal. 29.
[2] St. Eko Riyadi, Pengantar ke dalam Kitab Suci, (Yogyakarta: Kanisius, 2016), hal. 106.
[3] Kalis Stevanus, “kesadaran akan Allah melalui penderitaan berdasarkan Ayub 1-2”, (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani), diundduh dari https://www.researchgate.net/publication/332737337_Kesadaran_Akan_Allah_Melalui_Penderitaan_Berdasarkan_Ayub_1-2. 12 Febrari 2021, 03:02.
[4] Ibid., 108.
[5] Edukasi Kristen “arti iman dalam Kristen yang sejat i”, diunduh dari, Arti Iman Dalam Kristen Yang Sejati | Edukasi Kristen, 12 Februari 2021, 03:12.
[6] Willy-Massaubat , “Ajaran-ajaran pokok iman kristiani”, diunduh dari Apa Saja: Ajaran-Ajaran Pokok Iman Kristiani (willy-masaubat.blogspot.com) 12 Februari 2021, 03:30.
[7] Retno Wulandari, Makna Hidup Doa sebagai Sumber Spirit Pelayanan Para Katekis di Zaman Sekarang (Skripsi), diunduh dari: https://repository.usd.ac.id/32986/2/141124016_full.pdf, 12 Februari 2021, 11:30.
[8] Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid II Kewajiban Moral dalam Hidup Keagamaan, (Maumere: Ledalero, 2003 ), hal.148.
[9] Ibid., hal. 31.
[10] Ibid., 33.
[11] Ibid., 35.
[12] Ibid., 39.
Komentar